“Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia telah banyak membuat kemajuan seperti perilaku non-diskriminatif (SARA), kesamaan perlakuan pada laki-laki maupun perempuan (tidak adanya diskriminasi gender), tidak menimbulkan status apatride (tidak memiliki kewarganegaraan) bagi anak hasil perkawinan campuran dan negara masih mengakui kewarganegaraan Indonesia untuk anak tersebut, serta kehilangan kewarganegaraan istri/suami atau ayah/ibu tidak otomatis menghilangkan kewarganegaraan suami/istrinya atau anaknya,” tutur Bambang.
Dengan disahkannya Undang-UndangĀ Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, lanjutnya, tentunya diharapkan dapat menjadi semacam produk keadilan transisional untuk pemulihan status kewarganegaraan kelompok-kelompok yang terdiskriminasi.
“Karenanya, Undang-Undang Kewarganegaraan tentunya belum dapat menuntaskan dan menjawab keseluruhan permasalahan kewarganegaraan yang ada di Indonesia, terlebih dinamika futuristik kewarganegaraan yang begitu cepat,” tukas Bambang.
Ia menjelaskan, Undang-Undang Kewarganegaraan sudah mengadopsi asas kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak-anak sampai dengan usia 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi di sisi lain Undang-Undang Kewarganegaraan jugaĀ masih menerapkan asas kewarganegaraan tunggal atau pelarangan kewarganegaraan ganda pada usia dewasa, sehingga Undang-Undang Kewarganegaraan, akhir-akhir ini juga menuai sejumlah kritik dari berbagai kalangan masyarakat. (rilis Kemenkumham)
Editor: Ilma Amelia