Dari kiri ke kanan : Ka. Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kemenkumham Sulbar, Sri Yuliani, Wabup Majene Lukman, dan Ka Bapeda Andi Adlina Basharoe dalm seminar kekayaan intelektual yang digelar di ruang rapat Wabup Majene, 7 November 2018
Majene, mandarnews.com – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Wilayah Sulawesi Barat menggelar seminar kekayaan intelektual di ruang rapat Wakil Bupati Majene, Rabu (7/11/2018). Seminar ini bertujuan mengidentifikasi potensi indikasi geografis (IG) di Kabupaten Majene.
Wakil Bupati Majene, Lukman, menyambut baik dan mengapresiasi kegiatan Kemenkumham turun ke daerah menggelar seminar IG. Sebab dengan kegiatan ini masyarakat maupun pemerintah daerah dapat mengerti proses pendaftaran IG.
“Pendaftaran IG sangat penting. Karena dengan terdaftarnya produk maka tidak akan bisa lagi diklaim orang lain atau negara lain. Pernah batik Indonesia diklaim oleh Malaysia. Jadi potensi kekayaan kita berpotensi dimiliki orang lain jika tidak terdaftar,” kata Lukman.
Kegiatan seminar ini dimoderatori kepala Bapeda Majene, Andi Adlina Basharoe. Peserta seminar terdiri dari para kepala OPD, kepala bagian sekretariat daerah Kabupaten Majene, dan para pelaku usaha di Majene. Materi seminar disampaikan Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kemenkumham Sulbar, Sri Yuliani, SH.,MH.
Sri Yuliani memberi apresiasi terhadap Pemda Majene yang telah menfasilitasi digelarnya seminar kekayaan intelektual yang menjadi salah satu tupoksi Kemenkumham bidang pelayanan hukum. Katanya, tidak banyak Pemda yang menyambut baik pelaksanaan seminar itu. Padahal, kata dia, output dari kepemilikan IG adalah kesejahteraan masyarakat.
Sri Yuliani mengungkap, di Sulawesi Barat baru satu kekayaan intelektual yang terdaftar di IG yakni Sutera Mandar dari Kabupaten Polewali Mandar. Saat ini, Polewali Mandar juga dalam proses pendaftaran varietas kopi.
“Deskripsinya (kopi) baru selesai tiga hari yang lalu,” ungkap Sri Yuliani.
Sri Yuliani dalam pemaparannya menjelaskan, kepemilikan kekayaan intelektual itu ada dua, yakni kepemilikan secara pribadi dan kepemilikan secara komunal. Pendaftaran IG kepemilikan komunal dimulai dari daerah. Lembaga mendaftarkan kekayaan dengan mendapat pengesahan dari pejabat yang di SK-kan oleh pemerintah daerah.
Dalam seminar ini terungkap bahwa ternyata Majene memiliki banyak kekayaan intelektual. Diantaranya : loka pere, nenas pamboang, beke (bibit ettawa kualitas ekspor), ayam panggalo, coklat, maulidan, saeyang pattu’du. Yuliani mengaku optimis dapat menyelesaikan tugasnya denga fakta begitu banyaknya kekayaan intelektual yang dimiliki Sulbar, khususnya Majene. Ia berharap Pemda Majene dapat memfasilitasi lembaga untuk mendaftar IG.
Dalam seminar ini juga terungkap, masyarakat Tammerodo, sata ini, telah melakukan export biji kakao tanpa kulit (kakao kristal) ke luar negeri. Hal ini diungkapkan Wabup Lukman. Ia berharap, mereka terdaftar di IG agar pemasarannya semakin meluas.
Salah satu pendamping pelaku usaha yang hadir dalam seminar, Ichsan Welly. Ia yang akrab disapa Iccang ini menyebut bahwa saat ini pihaknya mendampingi pengusaha minyak mandar. Kendala yang dihadapi adalah labeling dan kepemilikan barcode.
Iccang juga mengungkap, produk yang dalam pembinaan mendapat respon pasar yang positif namun masih terkendala dalam soal kuantitas produk dan pendanaan. Disebutkannya, lembaganya diberi kesempatan dalam sea games untuk promosi produk namun kesempata itu tidak diambil karena terkendala biaya transport ke Jakarta.
“Kami ditanggung ketika berada di sana (Jakarta). Biaya pulang dan pergi ke sana tidak ditanggung,” sebut Iccang. Kesempatan itu diperolehnya karena memiliki link ke KSP (Kantor Staf Presiden).
Selain peluang itu tidak dapat disambut dengan baik. Iccang juga mengaku telah memiliki tawaran kontrak, tapi juga tidak bisa dipenuhi karena kendala produksi yang masih berskala kecil.
“Kami baru-baru ini di Hotel Marriot Jakarta mempresentasikan produk minyak goreng disandingkan dengan minyak dari Meksiko, Filipina, dan Thailand. Minyak mandar merek Massarri yang kami kelola lolos untuk kontrak 5000 ton tapi kami hanya mampu produksi 5 ton,” ungkap Iccang yang pada kesempatan ini juga mengungkap akan banyaknya potensi tapi berada dalam kawasan hutan lindung.
Selain Iccang, hadir pula pengrajin parang. Ia mengeluhkan ketidak leluasanya dalam memasarkan hasil kerajinannya yang masuk kategori benda tajam.
“Kami selalu merasa tidak aman dari pemeriksaan karena produk kami adalah parang (benda tajam). Bagaimana agar kami bisa aman dari pemeriksaan petugas. Karena kami biasa kembali kalau mendengar ada pemeriksaan,” katanya.
Semua permasalahan yang dihadapi pelaku usaha mendapat respon penyelesaian. Soal barcode, menurut Yuliani dengan terdaftarnya di IG maka barcode otomatis akan terbit. Sementara pengurusan IG semuanya berbasis online.
Untuk soal komoditi yang berada dalam hutan lindung juga akan ditindaklanjuti. Sementara keluhan pengrajin parang akan ditangani Dinas Koperasi Perdagangan.
Penulis : Rizaldy