Bagi masyarakat Kecamatan Sendana Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat, terutama yang lahir sebelum tahun 1980, meskipun tidak semuanya, pada umumnya dapat dikatakan telah mengenal dengan baik sosok H. Abdul Kadir Yanggi. Beliau awalnya adalah seorang guru matematika di SMP Negeri 1 Majene yang kemudian dipercaya oleh pemerintah memegang jabatan sebagai Kepala SMP Negeri Somba, Kecamatan Sendana. Sekolah itu saat ini dikenal sebagai SMP Negeri 1 Sendana. Beliau juga sempat menjadi kepala sekolah SMP Negeri Pellattoang, Tammeroddo Kecamatan Sendana, tugas sebagai kepala sekolah dijalani antara tahun 1970 hingga pensiun1996.
Dari perkawinannya dengan Ibu Hj. Sitti Zaenab Mada, Pak Kadir dikaruniai lima orang anak. Empat orang putri dan seorang putra. Mereka tinggal di lingkungan Rappunang, Somba Tenggara, tidak jauh dari Masjid Ridha Allah Somba atau sekitar dua ratus meter dari Kantor Kecamatan Sendana. Meskipun memegang jabatan sebagai kepaa sekolah, kehidupan keluarganya tidak mewah-mewah amat.
Ketika pertama kali saya bertandang ke rumahnya medio Mei 2003, saya mendapati kesederhanaan dalam rumah ini. Beberapa dinding dan lantai dapur kelihatan lapuk dan tangga naik ke rumah panggungnya terasa sedikit goyang. Beberapa lantai kayu rumah juga tampak bolong. Rumah itu tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah penduduk sekitarnya. Hampir tidak ada yang Istimewa. Untuk mandi atau akan menggunakan toilet, harus menimba air dari sumur dan mengangkutnya pakai ember beberapa meter ke kamar kecil. Air dalam sumur tidak selalu terisi. Ada kalanya kekurangan air dan harus berbagi dengan beberapa rumah tangga lainnya.
Selain menjadi kepala sekolah, semasa hidupnya, Pak Kadir rupanya adalah penikmat buku-buku agama Islam yang popular. Di rumahnya banyak terdapat buku karangan intelektual muslim, mulai dari Yusuf Al Qardawi hingga Ali Syariati. Juga buku karangan Amin Rais, Syafii Ma’arif, Nurchalis Majid, hingga Karen Amstrong. Tidak hanya itu, terdapat pula bebebera buku karangan Buya Hamka, terjemahan Qur’an dalam Bahasa Inggris, Bible, hingga Ensiklopedia Islam. Beliau juga berlangganan majalah Islam, seperti Panji Masyarakat, Hidayatullah, dan Suara Muhammadiyah.
Seharian saya berada di rumahnya, beliau begitu antusias memperlihatkan buku-buku tersebut kepada saya. Dalam perbincangan kami, Pak Kadir juga menjelaskan hakikat Islam yang dia pahami. Juga bagaimana keadaan umat Islam saat itu dan yang akan datang. Pertemuan saya dengan beliau serasa mengikuti kuliah umum dari pakar Islam modern.
Dulunya Pak Kadir adalah bukan sarjana. Beliau alumni sekolah pendidikan guru di Makassar tahun 1960-an. Jelang beliau pensiuan, memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sarjana ke IAIN Alauddin Makassar, kelas filial Majene. Mengambil Fakultas Syariah. Naik motor tua dari Somba untuk kuliah ke Majene sekitar 32 km, dalam setiap pertemuan di dalam kelas, hanya ada satu mahasiswa yang rajin sekali bertanya, itulah Pak Kadir.
Jelang penyelesaian studi, skripsinya dibimbing oleh Drs. H. Abdul Kadir Gassing HT dan Drs. Baso Midong. Kedua pembimbingnya ini dalam perjalanan sudah menjadi guru besar. Bahkan Prof. Qadir Gassing pernah menjadi Dekan, Wakil Rektor dan Rektor UIN Alauddin Makassar. Kemudian sempat mengikuti wisuda sarjana awal tahun 1990an dan berhak mendapatkan gelar S.Ag, atau Sarjana Agama.
Sayang sekali, meskipun sudah wisuda dan namanya tercatat dalam buku alumni, Pak Kadir, karena satu dan lain hal, tidak pernah mendapatkan ijazahnya. Saya sudah pernah mencoba berusaha menelusuri keberadaan ijazahnya di Kampus I UIN Alauddin Makassar. Menghubungi pengurus kelas filial Majene dan lain-lain. Usaha yang sama pun pernah dilakukan oleh istriku. Kebetulan kami berdua sudah bergabung menjadi dosen di kampus ini. Namun usaha itu tidak pernah berhasil. Suatu saat nanti usaha mencari ijazah itu akan kami coba teruskan, meskipun hasilnya nanti tidak persis sebagaimana yang diharapkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, saya baru mengetahui bahwa Pak Kadir adalah aktivis ormas Islam, yakni Muhammadiyah. Bahkan beberapa periode menjabat sebagai Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sendana. Hal ini sebelumnya saya tidak duga sama sekali. Pada umumnya, orang dari kampung itu sangat jarang yang masuk Muhammadiyah.
Untuk membuktikannya, saya berusaha mencari buku profil Muhammadiyah dalam angka yang terbit tahun 1990-an. Dalam halaman potensi Muhammadiyah Sulawesi Selatan (waktu itu Sulawesi Barat belum lahir), saya temukan alamat Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sendana adalah d.a. SMP Negeri 1 Sendana Majene. Dimana saat itu tentunya beliau adalah kepala sekolahnya. Data tersebut sudah menjadi bukti yang akurat bahwa beliau memang aktivis Muhammadiyah.
Pada tahun 2003, saya resmi menjadi menantunya. Beliau sendiri yang menikahkan saya dengan putrinya, dr. Nurhira Abdul Kadir, alumni Faklutas Kedokteran yang juga mantan Wakil Ketua Koorkom Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Hasanuddin. Masjid Ridha Allah Somba menjadi saksi kesederhanaan Pak Kadir. Pernikahan dalam masjid itu pula yang menjadi bagian penting baginya untuk mengamalkan pemahaman agamanya tentang Islam yang mudah dan sederhana.
Melakukan akad nikah di masjid bagi Masyarakat Somba saat itu, adalah sesuatu yang unik, langka dan di luar kebiasaan. Belum ada informasi sebelumnya bahwa ada orang yang menikah di dalam masjid. Terdapat komentar-komentar yang kurang sedap terhadap pilihan tempat pernikahan tersebut. Namun terhadap sebagian orang yang mengenal Pak Kadir, perkara tersebut bukanlah sesuatu yang aneh.
Selain menikahkan di masjid, kuatnya pengetahuan dan pengamalan Islam yang diperpegangi Pak Kadir, dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama tentang uang panaik atau mahar. Ketika saya akan melamar putrinya, sama sekali beliau tidak pernah berbicara tentang mahar, padahal putrinya adalah seorang dokter. Saya melamar putrinya dini hari sebelum salat subuh, sesaat setelah tiba di Somba dari Makassar naik bus umum. Saya yang menyodorkan jumlah tertentu, justru dianggap terlalu banyak. ‘’Kebanyakan ini, Nak’’, katanya. Pada akhirnya jumlah tersebut dikurangi. Sesuatu yang mungkin belum pernah terjadi. Adakah calon mertua yang melakukan pengurangan uang panaik?
Kedua, pada umumnya, saat akan melamar atau mengantar uang panaik, pihak mempelai lelaki akan datang dengan keluarga besarnya. Tapi Pak Kadir bilang kepada saya, tak perlu. Cukup kamu saja, katanya. Uangnya pun disarankan untuk ditransfer, tak usah repot-repot datang lagi mengantar. ‘’Mungkin masyarakat akan mencela saya, mengapa demikian? Tapi saya tak peduli apa kata orang. Yang penting sesuai dengan syariat Islam,’’ katanya.
Ketiga, sesaat setelah prosesi pernikahan di masjid, semua tamu diarahkan ke rumahnya untuk makan siang, termasuk keluarga besar saya dan pimpinan Muhammadiyah serta teman-teman rombongan Angkatan Muda Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Sesampai di sana, tidak ada saya lihat pelaminan sebagaimana umumnya terdapat dalam pesta pernikahan. Hanya kursi-kursi berjajar di samping rumah dan makanan di atas meja. Bahkan saya hanya dibiarkan duduk dan makan bersama teman-teman. Kemudian saya diarahkan masuk ke rumah tetangga, tanpa ditemani istri. Ternyata hal ini bukanlah satu kesengajaan, tetapi kemudian saya ketahui *‘’sebagai sesuai yang tidak direncanakan’’*. Sesuatu yang mengalir atau berjalan begitu saja.
Kesederhanaan lainnya yang pernah saya dapati dari Pak Kadir, adalah ketidak-cintaannya kepada uang. Suatu ketika di rumah dinas Puskesmas Pelitakan, datanglah seorang bapak keturunan Jawa bersama istrinya. Keduanya datang dengan wajah yang kurang sehat, berobat kepada istri. Setelah dilayani dan diberi obat, mereka membayar jasa pengobatan dan segera berlalu. Pak Kadir ada di situ. Menanyakan berapa kamu tagih, tanyanya kepada putrinya ini. Setelah mendengar jumlah pembayaran yang dalam benak Pak Kadir, itu cukup banyak. Tidak wajar katanya. Jangan mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain. Sedangkan istri yang baru saja membuka praktek, tidak tahu juga berapa harus menerima bayaran.
Pak Kadir dengan bahasa yang menyejukkan menjelaskan kepada kami tentang pentingnya saling tolong-menolong antar sesama manusia. Juga sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Singkat cerita, kami mencari rumah bapak yang tadi, sekitar tiga kilometer, di tengah kebun. Lalu mengembalikan uang yang dibayarkan kepada istri. Sejak saat itulah, istriku tidak mau lagi membuka jadwal praktik dokter mandiri. Dia hanya mau mengobati orang yang datang ke rumah, kadang tanpa harus dibayar. Ada kalangan dibayar dengan pepaya, merica, langsat dan rambutan.
Dalam perjalanan pernikahan kami, Pak Kadir dan ibu mertuaku, sering tinggal bersama kami. Apalagi dengan kehadiran cucunya yang pertama dan kedua. Hampir lima tahun kami sering bersama. Baik ketika menetap di Polewali Mandar maupun ketika sudah pindah ke Makassar. Tiga minggu bersama kami, seminggu kembali ke Somba. Lalu bulan berikutnya pun demikian. Hingga akhir hayatnya tahun 2010.
Dalam satu perbincangan sekitar tahun 2004, ketika itu kami masih tinggal di rumah dinas Puskesmas Anreapi Kab. Polman, beliau menyampaikan beberapa hal kepada saya. Beliau menanyakan studi saya di Program Pascarjana Universitas Hasanuddin Makassar, yang sedikit lagi akan selesai. Katanya; ‘’Nak Fitra, jika kuliahmu sudah selesai, jangan berhenti. Teruslah kamu sekolah. Lanjutkan ke program doktor di luar negeri. Bawa anak istrimu ke sana. Sekolahkan dia hingga menjadi doktor juga’’.
Sebenarnya saya sangat kaget waktu itu. Bagaimana mau sekolah doktor ke luar negeri, sedangkan magister dalam negeri saja sulitnya bukan main. Apalagi harus menyekolahkan istri. Sementara saya waktu itu, belum memiliki pekerjaaan tetap seperti yang sekarang ini. Honorku sebagai karyawan Kantor Muhammadiyah hanya tiga ratus ribu Rupiah per bulan. Namun saat itu, saya mengiyakan harapan bapak mertuaku sambil bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah?
Ternyata Allah Swt., Maha Kuasa. Dengan kekuasan-Nya, keinginan Pak Kadir hari ini dapat tercapai. Setelah sembilan belas tahun yang lalu, disampaikan kepada saya. Menginginkan saya dan putrinya sekolah doktor di luar negeri. Delapan tahun yang lalu, saya sebagai menantunya, menyelesaikan program doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan pada hari ini, istriku atau putrinya, dapat menyelesaikan program doktor di University of New South Wales (UNSW) Australia.
Tidak pernah terbayang dibenak saya ketika itu, bagaimana caranya memenuhi harapan bapak mertuaku ini. Saya memang mendengar dan mengiyakan harapannya saat itu. Dan hari ini, atas keMahaKuasan-Nya, harapan itu terlaksana dengan baik. Pak Kadir yang hidupnya sangat sederhana, ternyata punya pemikiran dan keinginan yang luar biasa. Kepergiannya menghadap keharibaan Ilahi tahun 2010 silam, ternyata memacu kami berdua untuk memulai berusaha mewujudkan harapannya.
Dengan modal nekat, tahun 2011 saya berangkat ke Kuala Lumpur Malaysia untuk melanjutkan pendidikan. Saya katakan nekat, karena pada awalnya saya tidak mendapatkan beasiswa sama sekali. Hanya mengandalkan sisa tabungan yang tidak seberapa, serta bantuan tak terduga dari seorang tokoh masyarakat Tana Toraja, alm. H.M. Yunus Kadir. Kemudian untung-baik bagi saya, akhirnya bisa memeroleh beasiswa program doktor luar negeri yang dicanangkan H. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan kala itu.
Setahun kemudian, tahun 2012. Kabar gembira pun datang. Istriku lulus beasiswa dari Pemerintah Australia untuk melanjutkan studi magister di University of Adelaide, Australia Selatan. Sambil menulis tesis, saya ikut ke Adelaide selama satu semester dengan tugas utama mengantar jemput serta menemani tiga anak kami yang ikut sekolah di sana. Istri menyelesaikan magisternya tahun 2013 dan mengikuti wisuda di Singapura tahun 2014.
Tahun 2016, kami sekeluarga berangkat ke Malaysia untuk mengikuti wisudaku di Bangi Selangor Darul Ehsan. Tak lama setelah itu, istripun mendapat kesempatan mengikuti summer course di Antigonish, Kanada. Kemudian tahun 2017, istri dinyatakan lulus mendapat beasiswa dari rakyat Indonesia melalui LPDP untuk melanjutkan program doktor di Australia. Kemudian memulai kuliah pada Juli 2018.
Saya dan anak-anak ikut ke Wollongong selama empat tahun, 2019 – 2023. Sebagai seorang suami, saya harus membantu istri mewujudkan cita-cita dan harapan bapak mertuaku. Karena status saya sebagai dosen PNS UIN Alauddin, tentu berat rasanya meninggalkan tugas. Tidak ada jalan lain kecuali mengambil cuti di luar tanggungan negara (CTLN). Tanpa gaji dan tunjangan sama sekali dari negara. Sesuatu yang tidak semua orang ingin mengambilnya.
Empat tahun hidup dalam kebersamaan. Beasiswa yang diterima dari pemerintah jauh dari mencukupi untuk membiayai lima orang. Istri, saya, dan tiga orang anak kami. Apalagi ketiga anak kami, ikut sekolah di sini. Dua orang setingkat SMA dan seorang setingkat SD hingga SMP. Tidak ada jalan lain kecuali saya harus membantu. Mengandalkan tabungan dan tunjangan keluarga, sangat jauh dari mencukupi. Kemudian saya ikut bekerja bersama dengan teman-teman Indonesia lainnya. Istilahnya adalah bekerja apa saja yang penting halal. Sayang sekali wabah covid-19, membuat pembatasan pergerakan warga. Sehingga bekerja mencari nafkah pun menjadi tidak maksimal.
Dalam perjalanan menemani istri, selama di Australia, saya diamanahi amanah besar. Memimpin Muhammadiyah Ranting New South Wales satu periode, 2021/2022 sebagai ketua. Di sini, ruang lingkup Ranting sama dengan mengurus satu negara bagian. Semacam satu provinsi kalau di Indonesia. Pada saat yang sama istripun secara otomatis dianggap sebagai Ketua Aisyiyah Ranting Istimewa New South Wales. Alhamdulillah, keterbatasan keuangan yang ada, tidak menyurutkan langkah kami melaksanakan berbagai program kerja dengan teman-teman pengurus lainnya. Selain itu, kami pun cukup aktif dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Sydney) Australia, juga dengan JPI (Jamaah Pengajian Illawara).
Berbagai cobaan kami alami. Covid-19 memang membawa pengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan, termasuk terhadap studi istri. Pembimbing utamanya istri pindah universitas, dari Wollongong ke Sydney. Istripun memutuskan ikut pindah bersama pembimbingnya. Kepindahan tersebut ternyata berdampak terhadap masa studi.
Cobaan lain adalah pembayaran SPP atau biaya pendidikan. Ada ketidaksepahaman dengan staf lembaga penyandang dana, sehingga beasiswanya selama hampir satu tahun tak dibayar. SPP-nya juga tak dibayar, jumlahnya cukup besar bagi kami, hampir seperempat milyar rupiah. Kami telah berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk menyamakan persepsi ini, akan tetapi hingga sekarang belum mendapatkan titik temu.
Di tengah cobaan yang ada, kita tidak boleh melupakan Tuhan. Di sinilah kami mendapatkan ke-MahaKuasaan Allah Swt. Tentu berkat doa orang tua, anak-anak dan orang-orang yang mencintai kami. Allah Swt., membukakan jalan kepadanya. Budi-baik pembimbingnya dalam mencari solusi atas masalah ini, adalah sangat penting. Pada akhirnya urusan pembayaran SPP dapat diselesaikan dengan baik oleh pembimbingnya.
Oktober 2023, tesisnya dianggap sudah selesai dan siap untuk diuji. Beberapa bulan kemudian, keluarlah hasil ujiannya. Dengan perbaikan yang minimal. Setelah diperbaiki, bulan Juni 2024, kami mendapatkan pemberitahuan bahwa beliau diperbolehkan ikut wisuda pada 21 Agustus 2024.
Alhamdulillah. Pada hari ini, saya ingin melaporkan kepada Bapak mertuaku, alm. H. Abdul Kadir Yanggi, S.Ag., bahwa harapannya sudah tunai. Tenanglah Bapak. Kami yakin Bapak sangat senang atas pencapaiannya. Puji syukur ke hadirat-Mu, ya Allah.
Walhamdulillahi Rabbil Alamien.
Kursi 21 J, pesawat Scoot, suatu tempat dalam penerbangan Sydney – Singapura, 26 Agustus 2024