Jeri (kaos hijau) dan Indri (kaos kuning) saat menjajakan beragam sayur diatas gerobak seperti, bayam, kangkung, daun kacang, labu , tomat dan cabe.
Mamasa, mandarnews.com – Matahari tepat di atas ubun-ubun, udara panas pun serasa membakar kulit ketika Jeri dan saudara perempuannya, Indri yang baru berusia 7 tahun tengah berkeliling di pusat kota sambil menjajakan beragam sayuran.
Jika biasanya usai sekolah kebanyakan anak sibuk dengan mainan atau menikmati tidur setelah menyantap makan siang, hal berbeda harus dilakoni oleh seorang bocah berumur 12 tahun bernama Jeri Krisna Pampang Rara.
Jeri, sapaan akrabnya telah terbiasa menjalani hidupnya dengan memanfaatkan waktu luang untuk mendorong gerobak menyusuri jalanan dengan beberapa ikat dagangan sayur di atasnya.
Hal ini dilakukan semata-mata demi memenuhi tuntutan hidup keluarga dan menggapai cita-citanya bersama saudaranya yang baru duduk di bangku Kelas II Sekolah Dasar (SD) Negeri 005 Rantebuda.
Spontan rasa tersentuh bercampur haru dan bangga pun timbul ketika melihat Jeri dan saudaranya berkeliling Kota Mamasa menjajakan sayur menggunakan gerobak.
“Dua ikat sayur harganya Rp 5.000,-,” sahut Jeri saat beberapa orang berseragam khaki hendak membeli.
Kendati dijual di siang hari, sayur dagangan Jeri masih cukup segar dan terbilang murah, ditambah lagi kepiawaian Jeri dan saudaranya untuk mengunjungi tempat yang ramai membuat dagangannya lumayan laris terjual.
“Saya berdagang bukan karena dipaksa bapak atau mama, tapi memang suka sebab saya ingin sekolah,” ujar Jeri.
Biasanya, kata Jeri, adiknya yang bernama Indri dan Rian sering bergantian ikut menemani saat berjualan. Alasannya, mereka suka keliling kota bersama-sama, apalagi mereka dapat sebagian dari hasil penjualan.
Sementara itu, ayah Jeri yaitu Joni Allo Bunga’ (32) saat ditemui di kediamannya, Kamis (14/3/2019) di Desa Tondokbakaru menuturkan, sebenarnya Jeri melakukan hal itu atas kemauannya sendiri karena ingin sekolah hingga kuliah, sementara ia bersama dua saudaranya di SD Negeri 005 Rantebuda tidak memperoleh Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Bisa jadi Jeri merasakan pendapatan mulai berkurang saat tempat penjualan sayur di Pusat Kota Mamasa dipindahkan sedangkan pendapatan sebagai tukang ojek kurang mampu menutupi kebutuhan sekolahnya sehingga ia memilih untuk ikut membantu,” sebut Joni.
Sambil membersihkan kebun sayur miliknya, Joni menceritakan tentang pendapatannya sebagai tukang ojek yang hanya sekitar Rp 20.000,- sampai Rp 50.000,-, bahkan kadang tidak ada.
“Sementara pendapatan dari kebun sayur yang biasa dijual istri kalau lagi untung bisa mencapai Rp 50.000,- hingga Rp 100.000,- per hari, itu juga tidak menentu,” beber Joni.
Ia mengaku, usaha sayur tersebut dimulai dengan modal seadanya. Bibit dan pupuk dibeli dari hasil ojek dan telah ditekuni selama empat tahun untuk menutupi kebutuhan keluarga, ditambah harus membayar cicilan rumah dan tanah yang sedang ditempatinya dengan harga Rp 70 juta.
“Selama ini belum ada perhatian dari pemerintah desa maupun pemerintah daerah untuk membantu usaha yang kami tekuni,” ungkap Joni.
Namun, berkat kerja keras selama empat tahun, cicilan tersebut telah dibayar sebesar Rp 40 juta sehingga sisa cicilan masih tersisa Rp 30 juta.
“Jeri sangat membantu keluarga, sebagian pendapatannya digunakan untuk keperluan sekolahnya bersama dua orang saudaranya yang masih duduk di kelas II SD,” terang Joni.
Ia turut mengungkapkan kesyukurannya sebab keluarganya dikaruniai empat orang anak, yakni Jeri sebagai anak pertama, kemudian Rian, Indri, dan Marce yang masih berumur 5 tahun.
Meskipun Jeri yang hampir tamat SD tidak menerima beasiswa, namun ia bersama istrinya Sondok Lagi’ tetap bisa menyekolahkan tiga orang anaknya.
“Persoalan itu telah ditanyakan ke pihak sekolah, tapi pihak sekolah hanya mengatakan datanya belum terkirim dan hingga sekarang belum ada kejelasan. Bukan hanya itu, kami sekeluarga juga belum memiliki KIS (Kartu Indonesia Sehat),” tutur Jeri.
Ariyanti Sukijan, salah satu tetangga Jeri berpendapat, Jeri merupakan anak yang sangat rajin dan tangguh serta tidak mengenal lelah membantu orang tuanya.
“Sangat disesalkan jika Jeri tidak menerima beasiswa, sebab ia sangat layak lantaran masuk kategori keluarga kurang mampu,” kata Ariyanti.
Saking rajinnya, tambah Ariyanti, Jeri bahkan terbiasa pulang pukul 21.00 WITA, bahkan kadang kehujanan usai berkeliling kota menjajakan sayur.
Editor : Ilma Amelia