Mayoritas mata pencaharian warga transmigrasi di Dusun Kolehalang, Desa Panggalo, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene adalah petani. Mereka menggarap tanah di daerah tersebut dengan tanaman jangka pendek dan panjang.
Tanah di daerah tersebut sangat subur. Hasil dari bertani mereka pun sangat melimpah. Apa lagi tanaman seperti sayur mayur yang terdiri dari kol, sawi, bawang prei, terong, pare, labu, labu air, tomat, terong, cabai dan lainnya. Untuk tanaman jangka panjang, seperti kopi, kakao dan cengkeh juga sangat cocok ditanam di daerah tersebut. Bahkan sebagian tanaman jangka panjang tersebut sudah berbuah dan menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi warga transmigrasi.
Hasil pertanian di Kolehalang tersebut ditampilkan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmirasi (Disosnakertrans) di Pameran Pembangunan Majene 2016 di Stadion Prasamya Majene. Sepanjang pameran berlangsung, mulai 17 sampai 27 Agustus 2016, sejumlah hasil pertanian di daerah transmigrasi tersebut ditampilkan.
Stand milik Disosnakertrans menampilkan hasil-hasil pertanian warga transmigrasi dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat tersebut. Salah satu hasil yang ditampilkan adalah labu air. Panjangnya lebih dari satu meter dengan lebar sekitar 15 cm. Menurut Kepala Bidang Transmigrasi, Andi Suardi, petani Kolehalang heran saat melihat labu air yang mereka (petani) tanam. Ukurannya melebihi ukuran rata-rata labu air yang ditanam di Jawa.
"Ini bukan hasil rekayasa genetika tapi ini bibit dari Jawa yang ditanam di Kolehalang. Tanahnya sangat cocok, subur sekali. Mereka juga heran, di Jawa itu lebih kecil, kenapa disini besar?," kata Andi Suardi.
Andi Suardi menceritakan, hasil pertanian di Kolehalang itu sangat melimpah. Hanya saja, warga disana terkendala pemasaran. Jarak dari jalan Trans Sulawesi di Desa Salutambung hanya sekitar 20 km ke Kolehalang tapi bisa memakan waktu 2 sampai 3 jam. Itu pun dalam keadaan normal pada musim kemarau. Jika musim hujan, waktu tempuhnya bisa bertambah berkali-kali lipat.
"Kalau musim hujan, untuk ke Kolehalang itu biasa kita bermalam di jalan. Apa lagi yang paling parah rusaknya itu ada di Tandeallo," cerita Suardi.
Akses jalan rusak berat. Hannya bisa dilalui mobil Toyota hardtop dan motor yang dimodifikasi seperti motor trail. Ada juga motor yang masih bentuk asli tapi ban motor dililit rantai motor bekas agar cengkramannya lebih kuat pada jalan yang tanah yang berlumpur.
Akibat sulitnya akses jalan ke Kolehalang, hasil pertanian petani tidak bisa dinikmati seutuhnya. Mereka sulit memasarkan hasil pertaniannya. Kini mereka terpaksa membatasi jumlah sayuran yang ditanam. Jumlah yang ditanam disesuaikan dengan kebutuhan warga. Mereka hanya bisa menjual hasil pertaniannya ke desa tetangga, Desa Taukong dan Seppong.
"Dulu melimpah tapi sekarang dibatasi jumlah yang mereka tanam karena rugi. Banyak ditanam, hasilnya juga banyak tapi pemasarannya susah. Harga sewa mobil ke Salutambung tidak sebanding dengan harga yang ingin dipasarkan," katanya.
Petani Kolehalang pernah menanam kol. Hasilnya lebih dari satu ton tapi semuanya rusak karena tidak ada kendaraan yang mampu mendistribusikan kol tersebut sampai Salutambung. Padahal, pembeli dari Kalimantan sudah menunggu dengan mobil truk.
"Pernah tanam kol dan hasilnya tidak dipasarkan. Dulu hasilnya sampai berton-ton. Mereka waktu itu sudah kerja sama dengan pembeli dari Kalimantan, mobil sudah ada dibawah (Salutambung), bahan diatas (Kolehalang) tapi tidak ada kendaraan. Hancur semua itu kol. Disitu marah-marah itu orang kalimantan karena kendaraan sudah siap di Salutambung untuk diangkut segera ke Kalimantan untuk dijual tapi tidak jadi," kata Andi Suardi
Daerah transmigrasi di Kolehalang dibuka tahun 2011 silam. Penempatan pertama tahun 2011 berasal dari Kabupaten Pamelang Barat, Purwokerto, Semarang, Boyolali Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Lombok dan Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kedua berasal dari Kabupaten Ponorogo, Probolinggo, Ngawi dan Blitar Provinsi Jawa Timur. Kini Kolehalang dengan panjang jalan sekitar 7 kilo meter tersebut didiami 250 kepala keluarga. (Irwan)