Dalam karyanya yang berjudul Sapiens, Yuval telah banyak menyinggung hal-hal di dalam sejarah dunia dan perjalanan singkat Homo Sapiens, salah satunya menyinggung hal yang awalnya sudah menjadi habitus bagi kita.
Dimana hewan-hewan yang biasa kita kenal dan jumpai juga mempunyai hak asasi yang sama seperti manusia.
Lepas dari determinasi dogmatis agama dan kepercayaan, dalam kacamata biologis, manusia dan binatang sungguh mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup dan bertahan hidup.
Sebagai mahluk material yang juga hidup dalam dunia material pula, manusia dan hewan tercipta dari evolusi organisme-organisme yang berlangsung sangat lama.
Kembali menoleh dalam poros sejarah, kehadiran Homo Sapiens sekitar 17 ribu tahun lalu dapat menjadi barometer bagaimana keegoisan dan keserakahan manusia dalam hal mendominasi segala macam sumber daya yang ada di bumi.
Sungguh sesuatu hal yang ironi karena banyak dari berbagai macam spesies hewan maupun tumbuhan yang lebih dulu tinggal di bumi seakan-akan menjadi cemas karena kehadiran manusia yang begitu serakah.
Ditambah lagi, hasil revolusi agrikultur yang menjadi awal terjadinya pembunuhan besar-besaran yang didomestikasi oleh kaum-kaum agrikuluturan.
Mengutip perkataan salah seorang filsuf Yunani klasik, Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang berpikir, serta pernyataan dari seorang ilmuwan terkenal, Charles Darwin, bahwa nenek moyang manusia adalah kera yang berevolusi menjadi manusia modern.
Dari kutipan-kutipan filsuf tersebut, mungkin dapat dijadikan landasan berlikir bahwa kita adalah binatang yang mencoba menjadi dewa atas segala makhluk yang ada di bumi. Menaikkan level dari apa yang telah terkonstruk dalam tatanan imajinasi.
Sesungguhnya, dalam perspektif biologi terlepas dari hal dogmatis agama, derajat kita (manusia) dan hewan itu sama.
Sebenarnya, tanpa disadari kita telah menjadi pembunuh-pembunuh yang handal. Kita pernah dan bahkan selalu melakukannya (membunuh) karena itu sudah menjadi kebiasaan yang terbangun dari kultur fundamental.
Anggapan kaum intelek maupun kaum agamis yang dengan bangga mengakui bahwa mereka mencintai alam dan mencintai ciptaan Tuhan, namun tanpa mereka sadari mereka telah mengkhianati tentang apa yang mereka katakan sebelumnya.
Tidakkah sesuatu yang egois bukan?
Sebenarnya, tulisan ini hanya menjadi bahan perbandingan semata. Supaya kita tidak terjebak dalam hal yang dogmatis. Harapan saya agar kita lebih mengenal, mencintai, dan menghargai alam, serta makhluk ciptaan Tuhan.
“Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam. Diapun bisa dilawan oleh manusia.” (Pramoedya Ananta Toer)
Biodata Penulis :
Nama       : Adam Jauri
Usia      : 22 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Hukum Unika
Aktivis Muda GMNI