Sudah sejak kelahiran dalam bentuk barunya, media massa masih agak sulit memperoleh independensinya sebagaimana seharusnya media massa bereksistensi dalam negara. Saya terutama mengacu pada media-media nasional dan lokal. Kita tak dapat membantah bahwa semua media massa di zaman Orde Baru telah takluk di bawah rezim tersebut. Semua media selama rezim Suharto berkuasa senantiasa diawasi dan diintimidasi dengan ancaman senjata. Karena itulah kita bisa mengatakan bahwa sejak 1999, yakni pasca runtuhnya rezim Orde Baru, media telah lahir kembali dalam bentuknya yang baru.
Gelombang demokratisasi setelah tumbangnya Orde Baru pada mei 1998 membuat media massa sedikit lega. Pasalnya, kebebasannya telah ditunjang oleh Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan PERS. Kita kemudian bertanya apakah memang Undang-undang di atas sudah terimplementasi betul-betul? Kalau memang ya, mengapa dalam proses-proses pengadilan atau rapat-rapat tertentu masih ada yang tidak boleh diliput oleh media?
Hal di atas adalah hanya salah satu kejanggalan dalam kebebasan PERS. Masalah yang ingin penulis sorot terutama ialah penekanan-penekanan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau institusi militer seperti TNI dan Polri. Kita sering mendengar bahwa dalam proses peliputan ada jurnalis yang dianiaya oleh anggota Kepolisian atau TNI karena takut apabila tindakan kejahatan yang dilakukannya diketahui oleh publik dan membuat nama institusi tersebut juga ikut kotor. Maka dilakukan pencegahan dalam bentuk penganiayaan serta penekanan terhadap reporter, redaktur, pimpinan media.
Sudah sejak kemunculannya, media massa belum pernah sepenuhnya bebas dari penekanan-penekanan, intimidasi, dan sebagainya. Kita lalu mengingat kasus penganiayaan seorang jurnalis di Medan, agustus 2016 lalu. Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com, seorang wartawan bernama Array Argus yang pada waktu itu menjalankan tugas, dianiaya oleh oknum TNI AU (Angkatan Udara) dengan cara diinjak-injak dan dipukuli. Baru-baru ini penulis mendengar bahwa pada tanggal 22 januari 2018, Kasat Reskrim Polres kota Baubau, Haris Akhmad Basuki, melakukan tindakan intimidasi terhadap seorang wartawan bernama Muliyadi Azis. Tidak hanya itu, penulis pun sering mendengar cerita-cerita tentang intimidasi oleh pemerintah terhadap jurnalis atau wartawan saat menjalankan tugas peliputan.
Kebebasan PERS, lebih khusus lagi keselamatan jurnalis semestinya dijamin sebagaimana tertuang dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999. Namun, fakta justru berbicara lain. Dan begitulah kenyataannya. Ternyata dalam hidup ini yang mayoritas negara di dunia sudah menerapkan model negara demokratis, masih tetap bagaikan rimba. Yang kuat memangsa yang lemah.
Aksi-aksi protes terhadap intimidasi serta penganiayaan wartawan yang dilakukan oleh pemerintah atau institusi militer seperti TNI dan Polri yang digalang oleh perserikatan antar sesama jurnalis memang perlu dan harus dikobarkan terus menerus. Memang tak dapat dipungkiri, para jurnalis begitu ringkih di hadapan pemilik otoritas apalagi oknum bersenjata. Apalah gunanya aksi pengecaman terhadap tindakan kekerasan setelah hal itu terjadi? Artinya, sang jurnalis sudah mengalami cacat fisik bahkan meninggal dunia akibat penganiayaan?
Ada kecenderungan dari institusi-institusi di atas untuk menutup-nutupi kasus yang menyangkut mereka, yang kemudian bermuara pada intimidasi dan penganiayaan untuk membungkam media. Padahal tindakan seperti itu justru akan membuat lembaga mereka semakin kehilangan kepercayaan dari publik. Mereka pun tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya lahir dari rahim rakyat. Apabila pemerintah atau lembaga militer telah berhasil membungkam mulut rakyat secara umum, dan media massa secara khusus, dengan segala kekuatan yang dimilikinya, misalnya, pertanyaannya lalu: ke manakah mereka akan mengarahkan kekuasaannya?
Dalam kondisi kacau yang diakibatkannya sendiri, mungkinkah masih akan membuat rakyat patuh padanya? Dan dari mana pula bakal datangnya dana operasional bagi mereka yang selama ini digunakan dalam menjalankan tugas sekaligus menghidupi mereka bilamana kepercayaan publik atau rakyat sudah lumpuh total terhadapnya?
Saat ini masyarakat sudah sangat jeli melihat konspirasi-konspirasi yang terjadi di antara oknum-oknum pemilik otoritas. Apalagi sekarang ditunjang oleh teknologi informasi macam facebook, whatsapp, dan sebagainya yang semakin mendorong kebebasan manusia. Dunia lebih cepat merespons ketidakadilan dengan hadirnya teknologi-teknologi informasi tersebut. Kita bisa melihat secara sangat jelas betapa kemarahan warga dunia mampu menghentikan kebiadaban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Myanmar terhadap penduduk Rohingya beberapa waktu lalu.
Pemerintah seharusnya membuka diri pada publik melalui media massa. Maksudnya, segala hal menyangkut mereka yang dipublikasikan oleh media, entah itu berita positif maupun negatif, sudah seharusnya disampaikan kepada publik. Dengan demikian kepercayaan publik pun akan meningkat padanya. Keterpercayaan suatu media massa justru merupakan keuntungan pemerintah, terutama bagi institusi militer yang setiap saat diwajibkan mengetahui gerak-gerik publik dunia. Dan yang perlu diketahui terkhusus bagi pemerintah, dengan keterpercayaan serta independensi suatu media massa, justru merupakan keuntungan bagi mereka jika ingin beriklan di dalamnya.(*)