Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) semakin dekat. Pada tahun 2018 sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan tersebut. Dari 171 itu diantaranya ada 17 yang berada ditingkat provinsi. Ferry Kurnia Rizkiyansyah selaku Komisioner KPU RI membenarkan hal tersebut (kumparan.com). Tidak tanggung-tanggung, demi menyukseskan PIILKADA serentak maka total anggaran dana yang akan digunakan adalah sebanyak Rp. 11,4 Trilliun (detiknews, 10/17). Angka yang sangat fantastis meskipun hanya untuk memilih seorang kepala daerah dan wakilnya. Hal itu disebabkan karena pada tahun 2017 PILKADA yang digelar di 101 daerah menghabiskan anggaran Rp. 4,2 Trilliun (pikiran-rakyat.com, 11/16). Artinya Anggaran tersebut naik di 2018 seiring bertambahnya daerah yang akan menjadi bagian dari pesta demokrasi tersebut.
Persiapan demi persiapan oleh calon agar menang tentu saja akan begitu maksimal. Hal itu tak lain agar rakyat memihak kepada mereka. Ibarat seorang pedagang yang akan menjual barangnya, maka tentu para pedagang akan melakukan upaya sehingga konsumen berminat membeli barangnya. Setiap calon akan bertarung untuk mengalahkan lawan politik mereka pada perhelatan akbar ini. Setiap calon yang ada tentu akan bersosialisasi dengan masyarakat untuk menyampaian visi dan misi saat duduk menjadi orang nomor satu di daerah masing-masing. Maka penggunaan bahasa retorika yang spektakuler begitu dibutuhkan pada momen ini, agar rakyat yakin dengan janji calon.
Suasana menjelang pemungutan suara dilangsungkan, disela-sela sang calon melakukan kampanye ke masyarakat, maka bukan rahasia umum lagi jika kontribusi uang kadang diperlukan. Maka kontribusi uang demi meyakinkan masyarakat dalam PILKADA 2018 masih berpotensi terjadi. Dalam hal ini pribahasa yang sudah mahsyur adalah “serangan fajar”. Jelas motifnya adalah untuk menang dalam pesta demokrasi dan melanjutkan falsafah hidup bernegara.
Pada tahun 2015 tercatat laporan dugaan Tindak Pidana PILKADA terdapat 1.090 kasus. 929 kasus diantaranya adalah dugaan memberikan uang pada pemilih. Bahkan catatan Founding Father House, setidaknya rentan 2010-2016 didapatkan hasil bahwa masyarakat yang setuju politik uang tahun 2010 sebanyak 64,5%, 2011 sebanyak 61%, 2012 sebanyak 53%, 2013 sebanyak 58,5%, 2014 sebanyak 66%, 2015 sebanyak 63%, dan 2016 sebanyak 61,8% (pinterpolitik.com, 7/17). Walaupun masyarakat sebagian setuju dengan politik uang tetapi ini bukan alasan yang benar untuk menggunakan uang demi memuluskan langkah menjadi penguasa.
Asumsi yang perlu dibangun dalam Pemilu adalah kehati-hatian. Bila calon sebelum terpilih saja banyak menghamburkan uang, maka bagaimana saat terpilih nanti. Bila calon sebelum terpilih sudah berani melakukan tindakan illegal, maka setelah terpilih potensi untuk melakukan hal yang sama makin besar. Masyarakat pun harus cerdar dalam menyikapi rupiah dari calon. Sebab Rp. 50.000 (misalkan) untuk waktu 5 tahun sangatlah murah.
Masyakarakat harus mempetimbangkan konsekuensi yang akan datang. Misalkan pada tahun 2016 terdapat 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan pada tahun 2017 terdapat 5 kepala daerah yang terjaring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana korupsi (Kompas.com, 9/17). Sedangkan dalam jawapos.com (8/17) dipaparkan bahwa sepanjang tahun 2016 hingga 2017 terdapat 9 orang yang ditangkap oleh KPK dan itu adalah Bupati dan Wali kota.
Siklus demikian perlu diperhatikan oleh pemerintah yang sedang mengemban amanah rakyat. Sebab yang akan merasakan kerugian bukan saja individu yang duduk di kursi pemerintahan. Akan tetapi kerugian utamanya akan dirasakan oleh rakyat. Pihak yang terlibat dalam proses PILKADA seperti partai politik harusnya mengusung calon yang memang merupakan representasi rakyat. Bukan hasil representasi dari anggota partai yang mengatasnamakan rakyat. Edukasi oleh pemerintah harus dilakukan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin dengan sehat, sehingga politik uang dapat dihindari. Karena kesadaran masyarakat juga yang dapat menghentikan hal tersebut. Individu yang memiliki riwayat pelanggaran hukum harusnya tak lagi dipakai apalagi sampai dicalonkan untuk menjadi pemimpin.(*)
Bio Data Singkat Penulis :
Nama : Ismail
TTL : Majene, 28 Oktober 1997
Sekolah : SMK Negeri 2 Majene
Status : Mahasiswa
Kampus : Universitas Negeri Makassar
Jurusan : Psikologi
angkatan : 2015
No. HP : 085242346810