

Politik selalu dimaknai sebagai kekuasaan. Karena saat berkuasa manusia cenderung bertindak sewenang-wenang, maka politik pun keruh dengan berbagai penafsiran negatif atasnya. Politik adalah cara-cara untuk meraih kekuasaan ā entah itu dilakukan oleh individu maupun kelompok ā yang dibenarkan atau diakui secara sosial. Namun kita jangan sampai menghentikan tafsiran politik hanya sampai di sini saja. Politik memiliki tafsiran positif dan negatif, oleh sebab itu politik seharusnya tak dihentikan penafsirannya.
Orang awam bahkan menganggap politik hanya sebagai sesuatu yang paling sempit, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Legislatif (Pileg)dan sebagainya. Penulis meyakini bahwa tiada manusia yang hidup di bumi tanpa berpolitik. Ketika seorang manusia lahir ke bumi, ia sudah memulai aksi politisnya. Seorang bayi hendak menguasai kelaparannya dengan menangis yang dengan cara demikian membuat ibunya segera memenuhi kepentingannya. Seorang gadis berkeinginan menjadi istri lelaki yang diinginkannya dengan berdandan agar terlihat cantik sehingga sang lelaki tertarik padanya dan pada akhirnya melamarnya. Itu juga adalah cara untuk menguasai atau memiliki si lelaki yang dicintainya. Media massa memburu isu-isu populer untuk menaikkan nama medianya dan dengan demikian hendak menguasai dunia informasi. Bahkan kalau bisa memonopoli informasi dengan tujuan meraih cap sebagai media terpercaya. Kekuasaan media begitu sentral dalam menggiring dan membangkitkan ingatan publik.
Dengan demikian penulis meyakini bahwa sejak manusia hidup di atas bumi, sejak itu pula ia mulai berpolitik. Tentu saja luas arena politik tiap-tiap orang berbeda-beda. Sebagian besar orang berpolitik hanya untuk kelangsungan hidupnya. Sebagian kecil untuk menumpuk kekayaan dan menginginkan kemasyhuran.
Politik jelas bukan kosakata asli Indonesia. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kosakata seperti publik dan politik, memiliki asal-usul yang sama. Kedua kata itu berasal dari kata āpolisā yang berarti negara kota (Budi Hardiman 3: 2010). Kata polis jelas mengacu kepada suatu kelompok manusia yang hidup dalam suatu lingkungan atau daerah atau wilayah yang lebih besar, yaitu negara. Hal tersebut mengandaikan tatanan atau berbagai macam aturan bagi semua manusia yang hendak hidup damai bersama dalam suatu wilayah.
Politik untuk Ekonomi atau Ekonomi untuk Politik?
Kita sudah lama menyaksikan betapa banyak para politisi (pelaku kebijakan) yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat korupsi. Mereka yang awalnya tak mempunyai modal tapi setelah menduduki kursi selaku pebijak atau pelaku kebijakan dalam negara, tahap demi tahap menumpuk kekayaan dalam rekening-rekening gendut mereka. Kita boleh menduga politisi-politisi demikian berpretensi politik untuk ekonomi. Artinya mereka berpolitik demi kesejahteraan ekonomis mereka secara pribadi. Dan juga demi keluarga-keluarganya.
Namun ternyata politik tidak selamanya berorientasi pada kesejahteraan ekonomis. Banyak juga politisi-politisi memulai karir dengan lebih dulu mapan secara ekonomis. Mereka ini telah memiliki kekayaan yang tidak sedikit. Aset-aset mereka tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Mungkin saja mereka sudah merasa sukses di bidang wirausaha sehingga berhasrat menaiki panggung politik di negeri ini. Dan kita bisa beranggapan bahwa mereka sudah cukup puas di dunia bisnis tapi kurang popularitas. Kurang dikenal oleh anak-anak bangsa negeri ini.
Memang politik yang ditunjang oleh kekayaan akan lebih lebih baik daripada yang sekadar menjual kata-kata manis berupa janji kepada publik. Sebab, banyak sekali politisi yang tiba-tiba runtuh idealismenya pada saat menyaksikan uang dalam jumlah banyak di depan mata. Padahal uang itu sebenarnya mesti dikelola dengan sebaik-baiknya demi memenuhi kekurangan-kekurangan masyarakat.
Ambillah contoh kasus La Nyalla versus Prabowo yang sedang hangat-hangatnya. Prabowo yang dituding menetapkan syarat 40 miliar bagi La Nyalla Mattalitti untuk maju bertarung pada Pilkada Jawa Timur merupakan bukti bahwa di zaman sekarang sudah seharusnya orang-orang yang berkeinginan menaiki panggung politik, mesti lebih dulu mapan secara ekonomis. La Nyalla mesti menunaikan mahar sebesar 40 miliar untuk mendapatkan rekomendasi dari partai Gerindra. Dengan demikian ekonomi dan politik sebenarnya saling mengandaikan. Dalam kasus seperti ini terbentuk skema: ekonomi untuk politik.
Gerakan-gerakan Sosial sebagai Modal Memulai Karir Politik
Ada banyak bentuk gerakan sosial yang boleh dihidupkan oleh anak-anak muda. Misalnya pendampingan-pendapingan kesehatan bagi warga tidak mampu. Memimpin gerakan protes atas kebijakan-kebijakan penguasa yang ditetapkan secara sepihak. Melakukan bakti sosial semisal membersihkan selokan-selokan yang buntu. Gerakan-gerakan seperti di atas yang dilakukan secara sukarela akan lebih bermakna dan berkesan di hati masyarakat.
Apalagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla membuka pintu bagi gerakan-gerakan pendampingan bagi siapa pun yang memiliki keprihatinan terhadap warga tidak mampu. Tidak semua warga tidak mampu saat ini memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS). Maka anak-anak muda terutama yang berkeinginan untuk menjadi politisi boleh memanfaatkan kesempatan seperti ini. Caranya dengan membantu warga tidak mampu untuk memiliki kartu tersebut di atas dalam proses administrasinya.
Contoh lain ialah melakukan pembuatan toilet sederhana bagi keluarga tidak mampu dalam suatu lingkungan masyarakat. Para politisi muda sudah mestinya memikirkan kekurangan (aspirasi) di lingkungannya untuk dipersembahkan bagi masyarakat setempat sejak belum menduduki suatu jabatan politis. Seperti menggerakkan teman-temannya untuk membuat bak penampungan kotoran toilet secara swadaya misalnya, tentunya sangat efektif untuk meraih simpati massa terutama anggota keluarga yang sedang dibantu dibuatkan toilet sederhana itu.
Soal pendanaan sebaiknya dipikirkan belakangan. Sebab, tentunya pihak keluarga yang dibantu akan merasa gembira dan tidak enak hati untuk tidak menanggung para pekerja swadaya sedikitnya hanya konsumsi pada saat pengerjaan toilet sederhana tersebut. Jadi, dana dalam hal ini semestinya tidak menjadi kendala untuk melakukan sumbangan dalam bentuk gerakan sosial di masyarakat. Terutama bagi para politisi muda.
Gerakan-gerakan tersebut dikatakan gerakan sosial karena memerlukan lebih dari satu orang untuk menjalankannya. Sebab, sangat sulit mengerjakan hal-hal seperti di atas hanya dengan seorang diri atau secara individual. Mesti dilakukan secara sosial.
Ada masih banyak contoh lagi yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang bercita-cita menjadi politisi. Saat ini sudah banyak pejabat yang menyediakan ambulance gratis. Para politisi muda dapat memaksimalkan fasilitas-fasilitas seperti itu sebagai kuda tunggangan untuk meraih simpati massa sekaligus memulai karir politiknya. Ketika ada warga yang sedang sakit atau hendak melahirkan, pada saat itulah ambulance gratis dapat dimanfaatkan oleh sang politisi muda. Seorang calon politisi atau katakanlah politisi muda tentu akan tampil sebagai pahlawan dalam momen seperti ini. Pihak keluarga si sakit akan terkesan oleh keprihatinan sang politisi muda. Dengan begitu sang politisi muda otomatis telah menancapkan basis massa dalam sebuah masyarakat.
Calon politisi atau politisi muda tentunya tidak boleh agresif dalam memperluas basis massanya dalam sebuah masyarakat. Terlalu agresif dalam memperbanyak massa bisa menjadi batu sandungan bagi politisi muda atau bahkan berbuah blunder. Sebab masyarakat kita saat ini sudah pandai melihat kelakuan-kelakuan bernuansa politis. Istilah populernya sekarang: pencitraan.
Politisi muda diharuskan menjalin komunikasi intens dengan seorang pemilik jabatan dalam suatu daerah. Hal ini dimaksudkan karena seorang politisi muda tentu belum memiliki cukup modal uang sebagai daya tarik bagi dirinya terhadap calon massa. Modal yang dimilikinya baru sekadar keprihatinan dan kegigihan dalam mendampingi warga-warga yang tidak mampu. Jadi, sebaiknya dalam memulai karir politik, mesti selalu mempertanyakan, apa yang dapat saya jual kepada massa?
Seorang politisi muda sudah seharusnya memiliki jalinan hubungan terhadap pemilik jabatan dalam suatu daerah. Misalnya seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini sangat penting sebab untuk memuluskan langkah pendampingan terhadap warga tidak mampu, dibutuhkan sebuah power. Dan gerakan seperti ini (yang dilakukan oleh politisi muda) pastilah disambut baik oleh sang pejabat karena seorang pejabat yang betul-betul memikirkan karirnya dalam politik tentu selalu ingin naik ke jenjang berikutnya. Seorang anggota DPRD misalnya, ingin mempertahankan jabatannya terus menerus. Tahap demi tahap tentunya hendak naik ke jenjang lebih di atas misalnya menjadi seorang bupati. Dari bupati menjadi gubernur. Dan pada akhirnya bermuara ā kalau bisa ā menjadi seorang presiden.
Ketika seorang politisi muda menjalin hubungan dengan sang pejabat di atas (sebagai contoh), berarti juga bertemunya dua kepentingan antara sang politisi muda dengan si pejabat. Sebab, seorang pemilik jabatan (si pejabat), yang dibutuhkan ialah massa dan massa yang semakin banyak. Seorang politisi muda berharap menjadikan pejabat tersebut sebagai kuda tunggangan untuk memulai karir politiknya dan si pejabat pun menyambutnya sebagai massa tambahan baginya.
Penulis mengatakan bahwa seorang politisi muda jangan sampai kemaruk atau agresif dalam menancapkan dan memperluas basis massanya. Kita ambil contoh, apabila hanya ada satu keluarga yang terus menerus didampingi oleh politisi muda (sebagai basis massa awal) untuk dipertemukan dengan si pejabat di atas, agar diberi bantuan-bantuan, niscaya akan membuat keluarga-keluarga lainnya dalam suatu kelompok masyarakat itu merasa cemburu. Kecemburuan keluarga-keluarga lain itu merupakan bahan bakar bagi sang politisi muda yang menguntungkan. Dan ketika hal ini terjadi, sang politisi muda hanya tinggal menunggu momen tepat untuk menguasai kelompok keluarga lainnya yang sedang dilanda cemburu itu. Mereka akan segera bergabung dalam saf yang diimami oleh sang politisi muda akibat kecemburuan yang sudah memuncak.
Seorang politisi muda tidak perlu terburu-buru masuk ke partai politik. Sebab partai-partai politik bakal dengan sendirinya melirik sang politisi muda untuk dipinang sebagai kadernya ketika melihat ia telah memiliki basis massa yang jelas.
Setelah memaparkan kiat-kiat yang bisa dilakukan oleh seorang calon politisi atau politisi muda, kita akan menyoroti hal lain yang juga tidak kalah penting yang mesti dipikirkan oleh seorang politisi muda. Begitu banyak aktivis-aktivis sekarang ini bahkan sejak mahasiswa sudah jatuh ke dalam kubangan lumpur uang hasil proposal. Idealisme menjadi barang dagangan bagi para mahasiswa, aktivis, politisi muda, terhadap para pejabat. Idealisme mereka dijual murah yang bisa dibeli dengan amplop berisi uang duaratus ribuan. Ada juga yang sangat garang di hadapan publik serta pejabat saat menyuarakan protes-protes mereka tapi pada akhirnya hal itu dilakukan demi memudahkan terakomodasinya proposal bantuan dana yang mereka usulkan kepada para pejabat.
Inilah virus yang paling banyak menyerang para mahasiswa, aktivis, politisi muda kini. Tentu saja tindakan pragmatis seperti ini berbahaya bagi karir politik seorang politisi muda ke depan. Sebab penulis menjumpai tidak sedikit aktivis-aktivis yang bercita-cita menjadi politisi merusak solidaritas di antara teman-teman seperjuangan mereka hanya karena uang dalam jumlah relatif sedikit. Hal tersebut bisa mengakhiri karir politik seorang politisi muda sejak dini karena teman-teman seperjuangan merupakan aktor penting dalam membantu memperluas pengaruh sang politisi muda.(*)