- Oleh: Najib Accal
Mandarnews.com – Membicarakan buruh saya akui tak bisa lepas dari nama seorang filsuf besar sepanjang masa, Karl Marx. Dialah filsuf yang menguak kelicikan sistem ekonomi kapitalisme dimana sistem tersebut dinilai mengisap dan menindas kaum buruh.
Jika buruh tani ditindas dan diisap oleh raja di zamannya, maka buruh pabrik ditindas dan diisap oleh pemilik modal perusahaan modern. Marxlah yang menyadarkan para buruh bahwa mereka dicekik sekuat mungkin oleh kaum kapitalis.
Pada abad ke-19 sistem ekonomi kapitalisme berkembang bebas tanpa hambatan. Jam kerja buruh serta upahnya tidak diatur seperti sekarang atau tergantung pada kemauan sang majikan. Hal ini disebut zaman kapitalisme liberal.
Meski demikian buruh terpaksa bekerja di luar batas kemampuan alaminya demi memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni pangan, sandang dan papan. Buruh punya pengalaman pahit di masa silam.
Sebagaimana analisis Marx yang mengungkapkan hasil kerja buruh tidak menjadi miliknya sepenuhnya tapi hanya sebagian terkecil. Dengan kata lain, hasil kerja buruh sebagian terbesar jadi milik majikan. Karena itu buruh terasing dari karyanya sendiri.
Manusia hidup di bumi butuh pangan, sandang, dan papan. Maksudnya adalah manusia tak mungkin hidup tanpa ketiga kebutuhan pokok itu. Untuk mendapatkan maka manusia mesti bekerja untuk membuat makanan, pakaian serta tempat tinggalnya. Karenanya bekerja adalah tindakan dasar manusia, kata Marx.
Di zaman sekarang buruh sudah semakin maju dan menjelma sebagai sales dan debt collector. Kerjanya tampak lebih mudah seperti yang kita sering lihat sehari-hari. Mereka mondar mandir sibuk berlalu ke sana ke mari mencari ‘mangsa’ atau nasabah.
Saat ini aksi revolusi kaum buruh sudah tidak terjadi lagi, yang muncul sekarang ini hanya berupa tuntutan kenaikan gaji, tunjangan, bonus, dan sebagainya. Negara sudah mengatur sedemikian rupa mulai dari jam kerja maksimal buruh dalam seharinya sampai besaran gaji seperti penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Kini penghisapan terhadap kaum buruh lebih halus lagi alias nyaris tak dirasakan. Pengisapan yang dilakukan oleh kaum kapitalis (pemodal) tampil dengan angka target yang dibebankan kepada buruh dalam sebulannya.
Masyarakat sebagai konsumen alias nasabah ditawari bahkan dipaksa meminjam uang atau membeli produk melalui sales. Sedang pemilik perusahaan (kapitalis) hanya menekan dan menekan ke bawah (buruh).
Dengan kata lain mereka sebenarnya tidak bekerja. Yang bekerja adalah buruh, dalam hal ini sales dan debt collector. Para sales dan debt collector ini mendapat upah dari hasil pengisapan terhadap masyarakat atau konsumen atau nasabah.
Debt collector dan sales memperoleh insentif dari tercapainya target penjualan perusahaan. Mirisnya, sekali lagi, pemilik perusahaan (kapitalis) kerjanya hanya menekan tapi justru merekalah yang kaya raya.
Akhir-akhir ini suasana terasa bising akibat suara-suara protes terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) yang konon luar biasa jumlahnya. Banyak dari kita protes karena kita sendiri sebagai pribumi masih banyak sekali yang pengangguran.
Kondisi tersebut menimbulkan kecemburuan dari TKI sendiri tapi harus dipertimbangkan. Artinya, hal ini sebetulnya sebuah kode agar kita terkhusus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hendaknya meningkatkan skill agar negara tidak lagi butuh TKA untuk mengerjakan pekerjaan tertentu yang dinilainya belum bisa dikerjakan oleh TKI sendiri.
Buruh semestinya memang senantiasa meningkatkan produktivitasnya secara kualitas maupun kuantitas agar pertumbuhan ekonomi negara juga meningkat. Tapi bukan berarti perusahaan bebas menindas melalui penekanan terhadap kaum buruh alias karyawan dengan angka target yang tidak masuk diakal.
Apakah para buruh sekarang sudah tergolong kecukupan dalam hal kebutuhan serta tunjangan-tunjangan keluarganya dan tunjangan masa tuanya? Tentu saudara kita yang buruh bisa menjawabnya.[*]