Biodata Penulis :
Nama : Ibnu Munsyir
Alumni mahasiswa fakultas hukum Umi makassar
MERANTAU DEMI ILMU, PULANG DI ASINGKAN!!!!!!
• MEREKA
Merekapun lulus, kemudian menanggalkan untuk sementara kenangan di masa putih abu-abu, demi merajut sebuah mimpi yang diidamkan. Mereka dari kampung yang dengan kebetulan kampung/kotanya dijuluki sebagai Kota Pendidikan, julukan bukan sekedar julukan namun hal demikian amat rapi tercantum dalam peraturan daerah (PERDA) sebagai dasar dari legalitas di mata hukum sebagai mana yang tercantum dalam konstitusi pasal 1 ayat 3 UUD di Republik ini, dalam artian bahwa segala dasar penetapan dan putusan harus di sertai dengan dasar hukum.
Sebagai daerah kota pendidikan mutlak Anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) mesti mumpuni untuk memfasilitasi regenerasi yang ingin mengeyam pendidikan baik itu dari tingkat rendah sampai pada tingkat tertinggi (SD,SMP,SMA dan Mahasiswa,program Master,Doktor) tidak lain hanya untuk mengdongkrat Kredibelitas maupun integritas dari julukan kota mereka.
Meninggalkan kampung halaman untuk menempuh pendidikan bagi mereka itu hanyalah persoalan biasa demi mendapat strata, demi masa depan kelak bersama. Merekapun berangkat dari kampung menuju kota metropolitan untuk bersaing meraih ilmu dari banyaknya perantau dari berbagai kota maupun daerah, lagi-lagi bersaing menurut mereka itu biasa dan itu mutlak dijadikan ajang proses yang nantinya akan di implementasikan di daerahnya. Suka duka hidup di dunia rantauan itu menjadi sarapan bagi mereka, “makan alhamdulillah, tidak makan sabar”. Paham mereka, intinya haruslah belajar dan berproses sebagai putra daerah yang nantinya akan menjadi generasi pemangku pemerintahan di daerahnya.
• KELAS RANTAUAN
Mereka cukup sabar di dunia rantauan, saking sabarnya mereka tak pernah tersentuh bantuan dari pemerintah daerah, namun tersentuh untuk sebagian rantauan yang cukup mumpuni dan terbilang di kelas sosial (rekan Pejabat, pemerintah daerah). Hmmm mereka naif begitu saja, tanpa sadar bahwa di antara mereka yang merantau dari daerah yang sama dengan sendirinya menciptakan kelas (Kelas Rantaun).
Orang tua di kampung terus berdo’a dan menaruh penuh harapan terhadap mereka yang lagi di tanah rantaun. “Ibu di rumah, bapak di sawah, ibu di rumah, bapak di laut”, kebanyakan dari mereka yang merantau demikianlah pekerjaan orang tuanya di kampung, itu untuk kelas rantauan mereka namun lain lagi dengan kelas rantauan yang lain (ibuku di rujab (Rumah jabatan), bapakku di kantor.
Di rantauan mereka tak begitu tau tentang apa yang sebenarnya terjadi di kampung mereka, di benak mereka hanyalah belajar dan berproses kemudian mendapat gelar demi untuk daerah dan masa depan bersama.
• NIAT DAN ITIKAD YANG BAIK
Mereka dengan senang hati mencari ilmu di tanah rantauan. Niat dan itikad baik merasuk ke dalam diri sejak di tanah rantauan. Lanjut, sekitar 4 sampai 5 Tahun merekapun mendapat gelar dan strata di masing-masing bidang dan jurusannya, masing-masing mereka sudah mendapat ilmu yang mumpuni untuk di implementasikan di daerah mereka sebagaimana daerah Kota pendidikan. Mereka akan membagi ilmu di daerahnya dengan menimbang bahwa daerah mereka masih sangat jauh dari kata sejahtera dan kabur dari kata “kota pendidikan” mereka sangat yakin dengan hasil studi dan mencoba merancang konsep tentang daerahnya.
Paham mereka “yang bertani anaknya harus Sarjana Pertanian, yang melaut anaknya harus sarjana perikanan dan kelautan” agar terciptanya dinamisasi dari kelas kecil menuju kelas menengah, niat dan konsep mereka lahir dari terpaan suka dukanya hidup di dunia rantauan. Bahkan mereka berencana untuk menstop regenerasi yang ingin mengenyam pendidikan di tanah rantauan menimbang daerah/kota mereka adalah “kota pendidikan” dan Mutlak harus mempunyai bengkel Ilmu (Universista/Sekolah Tinggi) sehingga nantinya regenerasi tak lagi menanggalkan kenangan masa putih abu-abunya untuk sementara, lantaran merantau sama seperti mereka, mereka tak ingin jikalau regenerasi dari daerahnya akan mengalami nasib yang sama dengan mereka yaitu “ makan alhamdulillah, tidak makan, sabar” dan “ ibu di rumah bapak di sawah, ibu di rumah bapak di laut”. Itu cerita dan konsep mereka sebelum pulang ke kampung halaman dan mengimplementasikan ilmu dan konsep mereka.
• KEKURANGAN POWER
Setibanya di kampung halaman, mereka sigap untuk menemui para aktor pemangku jabatan daerah untuk berdiskusi dan berharap memberi ruang untuk mereka yang dari rantauan untuk beraksi di ruang lingkup sosial.
Merekapun bertemu dengan aktor-aktor, ironis sedikitpun tak ada gubrisan darinya, dan tak mempunyai waktu untuk bertemu langsung dengan mereka, hal ini membuat mereka syok dengan tingkah para aktor pemangku jabatan daerah, sepertinya identitas para mantan rantauan ini hilang seketika, ketika dihadapkan dengan
Aktor-Aktor pemangku jabatan setempat. Selama di dunia rantauan mereka tak pernah bertemu dan bicara langsung dengan aktor tersebut, namun berbeda dengan kelas rantauan yang lain, mereka nampak bersahabat dan bermitra, sementara mereka bagaikan tak mempunyai identitas mantan rantauan di mata para aktor.
Ngangguk-ngangguk dan garuk kepala, itu tingkah mereka sepulangnya dari kediaman/kantor daerah. Mereka kembali bercerita dan mencoba merekfleksi diri masing-masing, dan kesimpulan mereka adalah “mereka kurang power”.
Dalam artian mereka masih terhitung kelas bawah ketika berhadapan dengan aktor karna nilai pandang aktor bukan mentok pada identitas mantan rantauan melainkan mentok pada kelas bawaan sosial yakni mereka anak petani dan nelayan. Sedangkan teman rantauan dari kelas lain telah nampak menggunakan seragam Pamong Pemerintahan daerah dengan begitu gagah dan nampak perkasa karna mereka punya ”power” lain halnya dengan rantauan yang demikan, mereka ”Kekurangan Power”.
• JUNGKIR BALIK
Cita yang di idamkan selama ini dengan sendirinya gugur di dalam perjalanan, selama ini mereka terlalu naif dengan keadaan yang ada, di benak mereka adalah Strata(sarjana)=Bekerja, Bekerja(aparatur pemerintahan)=sejahtera.
Bagai disambar petir lalu jungkir balik di liang lahat bahwa selama ini mereka menghabiskan waktunya mencari ilmu sekaligus strata di tanah rantauan hanya menjadi Nol besar dan eksistensi keilmuan hilang begitu saja, namun bagaimanakah eksistensi keilmuaan setiap person di mata para aktor pemangku jabatan daerah ini ?
Mereka hanya menyisakan pertanyaan dan yang lebih menyentuh lagi, bagaimana nasib para mantan rantauan ini kedepannya, apakah mereka harus melakukan rantauan jilid dua dengan gaya yang berbeda(mencari pekerjaan di daerah orang) ?
Harapan mereka punah dan sesekali ada rasa penyesalan telah pernah melakukan rantauan demi ilmu dan strata, namun hasilnya jungkir balik dengan cita dan harapan yang diidamkan. Dengan demikian pilihan mereka jatuh terhadap aktivitas kelas leluhur mereka yaitu “ bertani di sawah, teman di kantor pertanian, nelayan di laut, teman di kantor perikanan dan kelautan dan nongkrong di pos ronda, teman di kantor daerah”. Merekapun bekerja dengan warisan kerjaan orang tua mereka. Paham mereka terkubur begitu saja bahwa bapak yang bertani mutlak anaknya menjadi sarjana pertanian dan duduk di kantor dan seterusnya.
Merantau demi ilmu, pulang di asingkan!!!!!!!!!!!!!
Adalah cerita yang menuangkan potret tentang tidak becusnya pemerintah daerah setempat untuk memfasilitasi mereka ruang untuk memerankan ilmunya masing-masing di bidang masing-masing. Pemerintah seperti lepas tangan melihat banyaknya person yang demikian. Sehingga identitas keilmuannya harus di hilangkan lalu kemudianmereka bekerja bagai mesin.
Tak bisa dipungkiri potret di atas mempunyai kemiripan dari stagnansi kinerja para pemerintah setempat, dimana, untuk meraih strata harus merantau dan meninggalkan kampung halaman akibat lemahnya dan kurangnya sekolah maupun universitas/sekolah tinggi di daerah, namun tak mengapalah hal demikian terjadi asalkan asupan dana dari pemerintah itu mengalir tak salah kantong ke kantong yang lain.
Merantau demi strata kemudian pulang di kampung dengan impian menjadi aparatur pemerintahan daerah ataupun honorer, hmmmm…. mungkin mereka para perantau yang terlalu berharap kepada para pemerintah untuk menjadi aparatur pemerintah daerah ataupun honorer, namun apa yang salah dari harapan mereka, sebab ingin jadi pekerja swasta justru lapangan kerja yang kurang, ingin menjadi pengusaha namun modal tak mumpuni, ingin jadi politisi namun tak punya dinasti dan pada intinya mereka tak punya power untuk bersolek di kampung halamannya.
Hal yang demikian haruslah menjadi konsumsi para pemangku jabatan di pemerintahan dan semestinya bukan jadi konsumsi saya, kami, kamu, dan mereka yang hanya akan duduk diam lalu tertawa melihat keadaan yang ada.