Herman, di lapak penjualannya
MAMASA, mandarnews.com – Memastikan transaksi jual-beli berjalan baik dengan menunggu barang dagangan merupakan hal yang lumrah. Namun lain halnya yang dilakukan warga Desa Malatiro, Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa, dimana sejumlah warga menjual hasil buminya tanpa ditunggu.
Tetesan air langit masih berlangsung saat mandarnews.com memacu kendaraan di wilayah Kecamatan Tabulahan jalan yang berliku, menukik dan curam membuat laju kendaraan terbatas hingga jarak pandang sedikit terganggu.
Saat memasuki Desa Malatiro tepat di Dusun Tamungku beberapa pos-pos penjualan hasil bumi masyarakat yang beratap rumbia nampak aneh dimana terlihat aneka hasil bumi yang didagangkan tanpa penunggu. Hanya beberapa kertas karton dengan tulisan harga masing-masing barang dagangan dan sepotong bambu sebagai tempat penyimpanan uang, bagi pembeli mengundang tanya dan rasa heran.
Sesekali arah pandang dalam perjalanan harus terbagi saat berkendara untuk memastikan apakah ada orang disekitar penjualan tersebut dan kemudian memantau dari jarak jauh. Namun suasana yang sepi dan tidak adanya warga sekitar pos-pos penjualan itu sehingga warung kopi warga setempat menjadi tempat untuk bertanya sembari mendalami maksud dari metode berdagang seperti demikian.
Soleman (57) pemilik warkop di Dusun Tamungku, Desa Malatiro dalam perbincangan yang berlangsung menjelaskan, budaya itu telah dipraktekkan sejak leluhur dan hingga sekarang belum ada dikabarkan warga mengalami kerugian besar atau kehilangan dengan metode berdagang seperti itu.
Di Desa Malatiro, kata Soleman, ada empat dusun yakni, Dusun Tamungku, Rante, Palliabu dan Tanete dan masih banyak warga yang menjual hasil bumi dengan hanya menulis harga barang dan pembeli menyetor uangnya ke dalam tong bambu yang disediakan.
Lelaki paruh baya itu menerangakan, ada dua kenyakinan yang dianut warga Desa Malatiro dimana sebagian masih berpegang pada kepercayaan leluhur yang disebut Mappurondo dan beberapa warga lainnya beragama kristen.
Pengamatan media rata-rata barang dagangan adalah hasil bumi warga sekitar yakni buah yang jual seperti, pisang, timun, ubi, labu, talas, manggis, nenas, kayu bakar dan beberapa bentuk hasil hasil bumi lainnya.
“Sepengetahuan saya sudah jarang bahkan sulit ditemui lagi masyarakat ditempat lain yang menjual dengan metode seperti warga Malatiro,” sebut Gloria Bombong, warga asal Kecamatan Aralle yang kebetulan mencari nafkah di Malatiro.
Rata-rata barang yang didagangkan, kata Gloria, banyak yang habis terjual karena setiap pembeli juga mengetahui dan terbiasa cara berdagang seperti itu.
Biasanya kata Gloria, beberapa pemilik dagangan seperti, Mamak Usuk dan Mamak Pide datang memantau hasil jualan di sore hari bahkan kadang di pagi hari jika di sore hari tidak memiliki waktu.
Sedangkan Warga Dusun Tamungku, Herman LK (52) mengatakan, kebiasaan berdagang tanpa dijaga memang telah dipraktekkan jauh sebelumnya oleh nenek moyang sebab masyarakat Malatiro mayoritas petani sehingga hanya modal kepercayaan terhadap Tuhan dan sesama bahwa jika ada yang mengambil begitu saja maka sang pencipta akan menggantikan berlipat kali ganda.
“Kadang juga ada barang yang hilang namun penjualnya merelakan sebab ajaran orang tua atau leluhur bahwa barang yang hilang diambil orang yang lapar kadang juga barang diambil dua bulan kemudian baru dibayar,” katanya sambil tersenyum.
Di tempat yang sama warga Dusun Palliabu, Citranusmenambahkan, barang yang dijual merupakan hasil bumi Malatiro dimana mayoritas warga adalah petani.
Metode seperti itu kadang juga, kata Citranus, warga memperoleh hasil penjualan diatas harga misalkan pisang Rp 5.000 ada yang laku sampai Rp 10.000, entah mereka ikhlas atau tidak ada yang menukar uang sehingga diikhlaskan saja.
Nilai rata-rata pendapatan warga menurut Citranus dari hasil dagangan, Rp 10.000- 25.000 per hari dan kadang juga sama sekali tidak ada.
Ia berharap, budaya kejujuran di Malatiro dapat terjaga dan akan lebih baik jika ada bangunan kios yang lebih layak dari Pemda Mamasa sebab terkadang barang dagangan cepat layu lantaran sinar matahari yang menembus atas rumbia yang mulai bocor.(Hapri Nelpan)