Mamuju, mandarnews.com – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang mengabulkan permintaan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda proses dan tahapan Pemilihan Umum 2024 terhitung sejak putusan dikeluarkan pada Kamis (2/3/2023) menimbulkan berbagai kritik, termasuk dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasem Atang Irawan mengatakan, putusan PN Jakpus Nomor 757 tahun 2022 merupakan penodaan terhadap konstitusi.
“Kenapa demikian? Karena dalam putusan PN Jakpus menyatakan ‘Menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024’. Padahal, amanat konstitusi jelas menyatakan pemilu dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali,” ujar Atang dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/3).
Pakar hukum tata negara itu menganggap keputusan PN Jakpus merupakan turbulensi yustisial yang mencoreng muka eksistensi peradilan. Tak hanya itu, menurut Atang putusan ini juga mencurigakan.
Kecurigaan itu, kata Atang, ketika PN Jakpus memeriksa gugatan ini. Pertama, jika melihat dalam skema kontestasi politik bahwa sengketa sebelum pencoblosan yang berdimensi administratif menjadi domain Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Seharusnya, PN Jakpus menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), tetapi justru diterima,” beber Atang.
Selain itu, menurut Atang, seharusnya putusan itu dikeluarkan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika merujuk pada gugutan pada KPU sebagai lembaga negara, yang juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2019.
“Kecurigaan publik ini semakin menguat karena gugatan perdata tersebut menggunakan dasar perbuatan melawan hukum (PMH). Padahal, jika memperhatikan PERMA Nomor 2 Tahun 2019 menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechmatige overheidsdaad), dan keputusan KPU selain penetapan perolehan suara merupakan perbuatan pemerintahan yang menjadi domain peradilan TUN, jika mendasarkan pada UU Peradilan TUN Pasal 2 UU Nomor 9 Tahun 2004,” terang Atang.
Dalam hal ini, menurut Atang, semakin kentara bahwa hakim melakukan ultra petita dengan melompat dari apa yang dimohonkan. Kasus ini adalah penyelesaian perdata yang putusannya seharusnya terkait dengan perbuatan KPU terhadap penggugat dalam tahapan pemilu yang dimohonkan. Namun, justru putusannya berakibat pada seluruh tahapan pemilu.
“Ironis memang jika kita memandang bahwa hakim dianggap tidak atau bahkan belum tahu regulasi tentang kontestasi politik, maka semakin menunjukkan peradilan kita menuju ke arah kesesatan berpikir, karena hakim harus dianggap memahami hukum sebagai bagian dari prinsip ius curia novit,” kata Atang.
Jika memerhatikan kompetensi absolut peradilan, maka jelas bahwa PN Jakpus mencoba merobek peraturan perundang-undangan bahkan konstitusi, karena pengaturan tentang kewenangan pengadilan secara absolut sangat jelas dan imperatif yang tidak mungkin ditafsir.
“Ini sangat berbahaya dan gejala turbulensi yustisial jika dibiarkan secara liar dalam penegakan hukum dan keadilan,” ujar Atang.
Desak MA
Berkaca dari hal tersebut, Atang menganggap putusan PN Jakpus adalah preseden yang tidak baik, bahkan menabrak konstitusi. Seyogyanya Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) harus melakukan pemeriksaan terhadap orkestrasi yustisial hakim di PN Jakpus yang telah menimbulkan turbulensi penerapan hukum.
“Apalagi, persoalan ini terkait dengan kompetensi absolut dan penyimpangan norma yang sudah jelas dan tegas serta imperatif diatur dalam UU dan lonstitusi,” desak Atang.
Ia menyampaikan, dua kekuasaan besar yang diberi tangung jawab menegakkan hukum dan keadilan, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sekalipun tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penundaan pemilu.
Tapi anehnya, peradilan yang berada di bawah MA malah merobek konstitusi, sehingga telah menodai demokrasi yang menjadi komitmen kebangsaan.
Bahkan, tambah Atang, jika melihat skema UU Pemilu bahwa penundaan pelaksanan pemilu merupakan domain KPU melalui dua kanal, yaitu pemilu lanjutan dan/atau pemilu susulan.
“Miris memang, PN Jakpus sudah melakukan penafsiran dan membentuk norma baru, padahal kewenangan demikian hanya dapat dilakukan oleh lembaga pembentuk UU melalui perubahan UU (positif legislation) atau melalui pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi,” sebut Atang.
Selanjutnya, Atang mengharapkan proses banding yang akan dilaksanakan oleh KPU harus dikawal oleh seluruh elemen bangsa agar tidak terjadi orkestrasi yustisial yang dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan penodaan terhadap kedaulatan rakyat. Maka, sebaiknya perlu menjadi perhatian Badan Pengawasan Mahkamah Agung, termasuk Komisi Yudisial.
Terakhir, Atang berharap semoga serangkaian orkestrasi ini tidak seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan bahwa proses kontestasi politik menuju 2024 terkesan atmosfir politik dan hukum dijadikan sebagai komoditas dalam rangka menunda pemilu, sejak dari upaya amandemen, dektrit, bahkan referendum (meskipun aturannya sudah dicabut dan tidak berlaku), perubahan sistem pemilu, bahkan putusan PN Jakpus.
Dalam pokok perkara yang dikeluarkan PN Jakpus diputuskan bahwa:
1. Menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat;
3. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada penggugat;
5. Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah).