Sitti Muthmainnah
Mandarnews.com – Pagi datang dengan embun yang sejuk, ketika para kuli banngunan bergegas pergi untuk mencari sesuap nasi. Perempuan perempuan menggandeng baki untuk dibawa ke pasar. Serta anak-anak tengah berkeliaran membawa koran untuk di jual ditrotoar jalan yang penuh dengan polusi.
Rumah-rumah pejabat masih sepi aktifitas. Mungkin para tikus berdasi itu masih terlelap dalam tidur panjangnya.
Erik namanya, dia kekasihku memecahkan mimpiku. Apalagi kalau bukan menyuruhku ke warung sebelah untuk membeli kopi sachet. Maklum kami tidak punya cukup uang untuk beli kopi bermerk yang harganya bisa ngasih makan anak jalanan. Itupun dijual di toko-toko elit para penjilat.
Tanpa bedak, bergegas ku langkahkan kakiku menuju warung. Di sepertiga jalan kulihat ada seorang ibu tengah menggendong anak, kira kira umurnya jelang 30 tahun. Ia menggendong bayinya yang masih berusia setahun.
Dia adalah pekerja jalan , setiap pagi sebelum ayam berkokok dia mulai menggandeng gerobak sampah dan mulai menyapu tiap sudut jalan.
Aku mulai menghampiri, kutatap dengan jelas wajah ibu itu. Kulitnya sawo matang, mata agak bulat, hidung tak terlalu mancung standar hidung pribumi. Serta bibir yang pucat seperti tak pernah dibalut lipstik, katanya suaminya tak mampu untuk membelikan seperangkat make up untuk dirinya.
Kami tengah asyik bercerita. Ia mengisahkan kerasnya hidup yang dijalani. Hingga terpaksa meninggalkan rumah untuk bekerja di jalanan.
“Kalau tak kerja anak saya mau makan apa,” tuturnya.
Terlebih lagi, dia memiliki seorang anak yang berusia 10 tahun, tapi putus sekolah. Lagi lagi lantaran keuangan tidak cukup untuk melanjutkan pendidikan. Belum lagi harus membeli seragam, buku tulis dan perlengkapan lainnya.
Dulu dia pernah bekerja sebagai buruh pabrik, pergi pagi pulang sore. Namun upah yang didapat hanya cukup untuk biaya makan tiap harinya. Itupun seadanya.
Ketika hamil, ibu itu tak bisa izin untuk cuti. Padahal masa kelahiran bayinya tinggal beberapa minggu lagi.
Sehari setelah melahirkan pun, dia harus kembali bekerja. Meski kondisi yang masih sangat lemah. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk berhenti menjadi buruh pabrik.
“Kami ini manusia bukan mesin,” kata ibu itu kepadaku.
Suatu ketika, suaminya juga sempat terserang demam. Diselimuti rasa khawatir teramat dalam, ibu itu bergegas membawa suaminya ke puskesmas terdekat.
Namun sayang, karena tak ada biaya akhirnya mereka pulang. Ia pun terpaksa menggotong suaminya, berjalan kaki sampai ke rumah.
Upah dari membersihkan jalan pun tak cukup banyak untuk membeli obat di apotik.
“Gak tau yah, ibu juga bingung. Katanya kesehatan yang di utamakan tapi kok,” ucapnya penuh tanya lalu menghela nafas.
Sambil menyusui anaknya, ibu itu lanjut berkisah. Katanya, sempat ada beberapa pejabat yang turun langsung untuk melihat kondisi perkampungannya dan masyarakat.
Pejabat itu meninggalkan janjinya untuk lebih memprioritaskan masalah pendidikan dan kesehatan. Pejabat itu juga sesumbar ingin memberi pekerjaan untuk para pengangguran.
“Yang penting pada saat pemilihan kita harus milik dia. Tapi setelah terpilih batang hidungnya pun tak pernah muncul lagi di tempat ini,” ucapnya bernada kesal.
Miris mendegar cerita ibu tadi. “Memang iyya, semakin banyak janji maka akan semakin besar peluang menang. Ntar lagi kan pemilihan,” kataku dalam hati.
Janji apa lagi ya yang harus di utarakan? Bagaimna negara ini mau maju, dia tak takut sama siapapun. Beda dengan negara negara tetangga, takut sama Cina lah Amerika lah.
Tapi Indonesia, sama Tuhan pun tak takut. Padahal mereka selalu bersumpah di atas kitab suci agamanya loh, untuk menepati semua janji ketika sudah terpilih.
“Tapi yahhhh sudahlah,” gumamku.
Aku tersentak ketika mobil melintas tepat disampingku. Dengan santainya, penumpang diatas mobil membuang kaleng minuman bekas. Terlempat dari balik kaca mobilnya.
“Kurang ajar,” kataku.
Baru ku ingat, kalau aku harus ke warung untuk membeli kopi, aku pamit dengan ibu itu dan bertanya namanya siapa, dia cuman berkata panggil saja Aku Mbk Bro. (*)
- Penulis : Sitti Muthmainnah, Psikologi UST Yogyakarta
- Asal : Somba Kecamatan Sendana Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.