Sudah lama penulis mendengar keluhan-keluhan dari teman yang tinggal di kabupaten Mamuju. Isi keluhan mereka senantiasa tentang mahalnya biaya hidup di kota berjuluk Manakarra itu. Hal ini tentu membuat penulis hendak membuktikan apakah memang realitas tersebut benar.
Dan ternyata memang benar bahwa di Mamuju, segala sesuatu lebih mahal dibandingkan dengan dagangan-dagangan di Majene, daerah di mana penulis dilahirkan. Salah satu contoh yang penulis temukan ialah dagangan gorengan. Di Majene kita masih memperoleh gorengan tahu isi atau bakwan misalnya, dengan harga dua ribu rupiah per tiga buah. Akan tetapi di Mamuju kita mungkin sangat sulit mendapatkan. Kebanyakan penjual gorengan di Mamuju menetapkan dagangan gorengannya dengan harga seribu rupiah per buah.
Contoh lain adalah biaya sewa ojek. Di sini kita juga membandingkannya dengan sewa ojek yang berlaku di Majene. Penulis terkaget-kaget mendengar kabar bahwa hanya sejauh dua hingga tiga kilometer, apabila kita menyewa jasa tukang ojek di Mamuju kita mesti mengeluarkan isi kantong sepuluh ribu. Tapi di Majene kita hanya cukup merogoh kocek empat ribu rupiah. Setidak-tidaknya paling mahal lima ribu rupiah.
Persoalan ini sesungguhnya sangat serius mengingat harga bensin yang ditetapkan oleh pertamina selaku distributor, sama antara di Majene dan Mamuju. Selain itu, sebuah kota jelas mengandaikan kemudahan akses bahan pokok. Jadi tidak ada alasan untuk mempermahal tarif misalnya tarif ojek.
Pemerintah semestinya turut campur akan hal ini. Apabila kondisi tersebut tetap dibiarkan maka daerah kita tak ubahnya Eropa abad ke-19 yang dikatakan oleh Jurgen Habermas sebagai zaman kapitalisme liberal. Kita seolah kembali ke zaman di mana para kapitalis bebas memainkan harga barang karena tidak ada intervensi oleh negara.
Beberapa orang mengatakan bahwa hal itu wajar karena kota. Tetapi menurut pendapat penulis justru di kotalah seharusnya barang-barang dagangan murah. Sebab di kotalah tempat para kapitalis-kapitalis besar maupun kecil saling bersaing ketat soal kualitas, kuantitas maupun nilai atau harga. Karena sekali lagi kota mengandaikan kemudahan akses bahan pokok ke dalamnya.
Dugaan sementara penulis terhadap kondisi perekonomian di ibukota Provinsi Sulawesi Barat itu ialah agresivitas kaum-kaum kapitalis. Juga kemungkinan hanyalah narsisitas masyarakatnya agar dipandang maju. Selama kondisi perekonomian ini tetap berlaku memang akan membuat para kapitalis atau pemodal semakin melirik Mamuju sebagai daerah untuk mempercepat kekayaan. Dengan kata lain, Mamuju ialah surga para kapitalis. Akan tetapi di sisi lain akan membuat perantau seperti mahasiswa enggan memilih Mamuju sebagai tujuan untuk menuntut ilmu dengan mempertimbangkan hal-hal di atas.(*)