Penulis: Zulkarnain Hasanuddin, SE., MM (Founder Garansi Institute)
Partisipasi politik masyarakat adalah hal yang paling krusial dan merupakan kegiatan sukarela yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengambil bagian dari proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak terlibat dalam pembentukan kebijakan umum.
Partisipasi ini bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, serta legal atau ilegal (Herbert MC Closky).
Indonesia sebagai salah satu negara penganut sistem demokrasi, baik masa orde baru maupun reformasi, memiliki perbedaan model partisipasi oleh masyarakat.
Saat orde baru, partisipasi masyarakat dalam politik dikontrol sangat ketat oleh pemerintahan otoriter, sehingga partisipasi politik menjadi semu karena ada dalam tekanan dan kendali oleh negara.
Pasca reformasi, partisipasi politik masyarakat seolah menjadi sebuah letupan yang membawa masyarakat pada sebuah kebebasan yang sangat berbanding terbalik daripada masa orde baru, ditandai dengan kembalinya salah satu saluran politik rakyat, yakni partai politik yang kembali multi partai.
Namun, dalam perjalanan demokrasi di masa reformasi ini yang usianya menghampiri usia kepemimpinan Soeharto saat itu, dinamika partisipasi politik, khususnya partisipasi masyarakat untuk memilih pemimpin, baik itu pemimpin tingkat nasional maupun daerah seolah mengalami stagnasi, bahkan kecenderungan menurun yang bisa dilihat dari partisipasi saat pemilu pertama pasca reformasi 2004 (84%) hingga pemilu 2024 (81,78%).
Hal ini tentu memiliki dampak terhadap pemerintahan, dimana angka partisipasi yang cenderung turun tersebut menjadi pesan bahwa adanya apatisme dari masyarakat yang mungkin disebabkan oleh kurangnya pendidikan politik, ataukah tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap mekanisme kompetisi yang menurun, atau bisa jadi ada faktor pemicu lain yang menyebabkan partisipasi yang terus mengalami penurunan (perlu riset).
Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh elemen bangsa untuk ikut terlibat dalam memikirkan soal apatisme tersebut dengan porsi dan posisi masing-masing, dan yang paling memiliki peran dan tanggung jawab ini adalah penyelenggara pemilu dan partai politik untuk terus mentransformasi nilai-nilai demokrasi sebagai pelecut partisipasi yang memiliki kualitas yang bukan hanya sekedar turut serta menjadi pemilih tetapi memiliki value dalam menyalurkan suaranya dengan menyasar kapasitas dan kompetensi para kandidat.
Partisipasi politik di Indonesia menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1983) dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, partisipasi politik yang bersifat otonom partisipasi, yaitu atas kesadaran sendiri. Kedua, partisipasi politik yang dimobilisasi, yaitu dampak dorongan/pengaruh faktor luar.
Biasanya, otonomi partisipasi timbul karena pemahaman yang utuh atas persepsi terhadap objek politik yang ada.
Pemahaman tersebut membentuk konseptualisasi atau pemahaman yang utuh terhadap fenomena pada objek politik, sehingga menimbulkan afeksi dalam bentuk keputusan untuk berpihak kepada objek politik tertentu secara sadar tanpa paksaan (otonom).
Salah satu metode yang penting dilakukan dalam memaksimalkan dan menggenjot partisipasi masyarakat adalah dengan terus melakukan edukasi (pendidikan politik) secara kontinyu dan berkelanjutan, baik saat adanya tahapan pemilu dan pilkada maupun tidak ada tahapan dengan terlebih dahulu melakukan assessment segmen pemilih, sehingga transformasi pengetahuan yang dilaksanakan sesuai dengan segmentasi.
Pendekatan ini akan lebih memudahkan masyarakat dalam menerima informasi maupun pengetahuan, sehingga masyarakat memahami arti partisipasi mereka terhadap kualitas demokrasi.