Selain persoalan pemutusan kerjasama dengan BPJS, tutur Budi, rumah sakit TNI-Polri saat ini juga menghadapi kendala pencairan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) faskes TNI. Ia mengungkapkan, total dana PNBP yang tidak bisa ditarik karena tertolak oleh aplikasi penarikan di KPPN, yakni sebanyak Rp 705 miliar lebih.
“Padahal kegiatan pelayanan sudah dilakukan. Jadi kami (RS TNI-Polri) harus menanggung selisih pembayaran untuk operasional. Seperti pembayaran nakes-nakes tamu,” ungkapnya.
Budi Sulistya yang juga Kepala RSPAD Gatot Soebroto ini menilai, perlu ada diskresi penerapan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 110/2021 tentang Tata Cara Penetapan Maksimum Pencairan PNBP. Menurutnya, PKM tersebut sebaiknya diberlakukan tidak mempengaruhi aplikasi penarikan di KPPN, yakni Elektronik Surat Pembayaran (ESPM).
“Sehingga dana PNBP yang sudah masuk di KPPN dapat ditarik lagi oleh faskes TNI karena kegiatannya sudah berjalan atau dilaksanakan,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Budi juga menyampaikan soal kebijakan Kelas Rawat Inap Standarisasi (Kris), yang dinilai akan sulit diberlakukan di rumah sakit TNI-Polri. Kendalanya, sebut dia, mulai dari adanya hirarki kepangkatan,. Tingkatan rumah sakit, hingga keterbatasan dana renovasi atau pembangunan RS.
”Jika ada standarisasi soal tempat rawat inap misalnya, berarti akan ada perubahan ruangan dan ini butuh biaya untuk renovasinya,” pungkas Budi. (KSP)