Penulis : Zulkarnain Hasanuddin,SE,.MM (Founder Garansi Institute).
Kontruksi gender telah muncul sejak politik etis, ditandai dengan Gerakan RA, Kartini dalam perpolitikan Indonesia ( 1879 – 1904 )terkenal dengan kritikannya yang keras terhadap peodalisme, dan keras dalam pemberantasan terhadap kebodohan melalui literasi, momen sejarah lainnya ditandai didirikannya organisasi-organisasi perempuan kala itu seperti Muslimat NU, Aisiyah. Dan momen sejarah penting bagi perempuan dalam politik Indonesia adalah kongres pertama perempuan yang dilaksanakan pada 22 desember 1928 dengan tema memerdekakan Indonesia serta mengusung perjuangan untuk hak perempuan untuk dipilih dan afirmatif action.
Demokrasi sebagai bentuk Pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan, baik keputusan politik,ekonomi maupun budaya, sehingga peran perempuan dalam kehidupan demokrasi punya kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya ( laki-laki ), sehingga terbangun budaya politik yang sesuai dengan prinsipnya, agar tidak ada diskrimanasi antara laki-laki dan perempuan untuk berkompetisi dalam arena demokrasi.
Namun dalam era orde baru Gerakan perempuan cenderung terjadi kemunduran, yakni Gerakan politik perempuan karena diamputasi oleh rezim kala itu yang menekankan perempuan mengikuti suami atau lebih mengurusi persoalan domestic, semuanya demi menciptakan masyarakat yang tertib dan bisa diatur, pun kalau menduduki jabatan perempuan harus selalu dibelakang laki-laki.
Demokratisasi di Indonesia setelah Reformasi 1998 telah membuka akses bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Jumlah perempuan di legislatif, khususnya di DPR mengalami peningkatan dari 9 % pada pemilu 1999 menjadi 17% pada pemilu 2014.dan Pemilu 2019 20,8 % atau 120 anggota legislative dari perempuan dari 575 kursi DPR RI, dan untuk pemilu tahun 2024 jumlah keterpilihan perempuan mengalami peningkatan 22,1 % atau 128 wakil perempuan dari 580 kursi. Namun persentase tersebut masih belum mencapai angka 30%, yakni jumlah minimum yang diperkirakan dapat menghasilkan perubahan arah kebijakan politik perempuan sebagai salah satu Gerakan perempuan melalui afirmasi.
Gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi berbagai tantangan. Anggota legislatif perempuan juga menghadapi tantangan politik terkait aspek institusi politik baik sistem pemilu maupun kebijakan internal partai. Di dalam DPR pun, suara legislator perempuan masih berada dalam kontrol fraksi dan politik yang maskulin. Tekanan gerakan perempuan di luar parlemen tetap memiliki arti penting untuk mendukung dan mengawal politik perempuan di parlemen.
Demokrasi Indonesia pasca 1998 tumbuh menjadi demokrasi elektoral yang berbiaya politik besar. Hal ini dapat dilihat dari biaya pendirian partai politik yang tinggi dan biaya pencalonan legislatif dan kampanye yang mahal. Partai politik kemudian diisi dan dikontrol oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang untuk mendanai biaya politik elektoral yang tinggi tersebut. Koalisi politik pun dibangun sebagai sarana untuk memuluskan jalan bagi pimpinan atau pengurus partai guna mendapatkan kekuasaan dan jabatan (entah menteri, gubernur, bupati, atau walikota) yang dapat menjadi mesin uang untuk pemilu selanjutnya. Kesamaan ideologi, nilai atau visi politik tidak menjadi dasar dalam pembentukan koalisi. Koalisi yang cair, cenderung oportunis dan gampang bubar ini membuat pemilih kesulitan untuk meminta pertanggung jawaban masing-masing partai atau pimpinannya. Dalam konteks ini, politik elektoral berada dalam kontrol kekuatan yang disebut sebagai kekuatan oligarki.
Oleh karena itu, wajah DPR saat ini diisi oleh kalangan yang memiliki latar belakang sebagai elite ekonomi (pengusaha) dan memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik, walaupun tetap masih ada anggota parlemen yang berlatar aktifis dan para penggiat demokrasi, walau tak sebanyak dari kalangan yang memiliki kapital dan jaringan bisnis dan juga selebritis. Sehingga lembaga legislative dan eksekutif dalam menghasilkan kebijakan menjadi rentan terhadap kepentingan oligarki dan golongan tertentu.
Partisipasi perempuan Indonesia dalam politik belum berbanding lurus dengan keterwakilannya dalam parlemen ataupun Lembaga politik lainnya. Data dari World Bank ( 2019) Indonesia menduduki peringkat ke-7 se asia tenggara untuk keterwakilan perempuan diparlemen, sedikit banyaknya berpengaruh terhadap isu kesetaraan gender dan belum mampu merespon masalah utama yang dihadapi oleh perempuan. Dalam diskursus-diskursus kontemporer saat ini yang bertemakan demokrasi dan politik, perempuan telah banyak mengambil peran pada media webinar maupun seminar-seminar lainnya misalnya, walaupun secara kuantitatif masih lebih banyak laki-laki baik sebagai key note speaker maupun sebagai bagian yang terlibat dalam diskursus tersebut.
Kaum perempuan harus menyiapkan kader-kader terbaik dan berkualitas untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan politik dengan cara memperkuat kerjasama dan dukungan antar sesama perempuan serta harus lebih massif dalam mengaktulaisasikan karya dan kapasitas,sebagai symbol bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kesempatan yang sama ( kesetaraan ), sehingga perempuan menjadi pemeran penting dan utama yang dapat menentukan peluang keterpilihan calon-calon perempuan yang bisa mewakili kepentingan mereka ( Perempuan ) yang nantinya berjuang untuk keadilan dan kesetaraan.