Sejumlah warga Desa Sasakan yang mengalami keterbelakangan mental.
Tak mampu bekerja, tak mampu berpikir dan hanya bergantung terhadap orang lain adalah kondisi penderita Tunagrahita di Desa Sasakan, Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa. Penderita ini sering didata namun belum secara menyeluruh menerima bantuan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda).
Memiliki kepedulian terhadap sesama terutama mereka yang memiliki keterbelakangan mental (Tunagrahita) merupakan suatu kalimat yang sangat mudah diucapkan bahkan sering menjadi bahan ajaran di sekolah, tempat-tempat ibadah. Juga menjadi program kerja dibeberapa birokrasi pemerintahan namun, secara praktek hanya sebagian kecil orang yang benar-benar melakukan hal tersebut.
Penderita Tunagrahita adalah keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Tunagrahita memiliki IQ di bawah rata-rata orang normal pada umumnya, sehingga menyebabkan fungsi kecerdasan dan intelektual mereka terganggu yang menyebabkan permasalahan-permasalahan lainnya yang muncul pada masa perkembangannya.
Di Dusun Kayumea, Desa Sasakan cukup banyak penderita Tunagrahita yang belum menerima bantuan pemerintah. Yang lebih miris lagi ada satu keluarga yang mengalami keterbelakangan mental dan hanya menguntungkan hidup dari sumbangan tetangga atau warga sekitar.
Sekertaris Desa (Sekdes) Sasakan, Sapri saat ditemui di kediamannya, Senin (2/10/2017) menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan data tersebut ke koordinator Program Keluarga Harapan (PKH) di tingkat Kecamatan Sumarorong juga telah disampaikan ke Puskesmas Sumarorong sehingga jajaran telah Puskesmas sementara melakukan pendataan.
Sekdes juga menyampaikan, Tahun 2014 Kementerian Sosial (Kemensos) juga telah melakukan pendataan namun hanya memberikan Rp 300.000 setelah itu tidak ada lagi tindak lanjut.
Lanjutnya, di Dusun Kayumea ada 1 Rumah Tangga (RT) yang sangat miris. Dikeluarkan itu terdapat 5 jiwa dan dua Kepala Keluarga (KK) yakni: Lake (60), Panu’ (50), Bue’ (48), Mada (25), Andri (25). Khusus keluarga Bue’ bersama anaknya Andri telah menerima bantuan PKH sedangkan keluarga Lake, Panu dan Mada sama sekali belum menerima apapun dari pemerintah.
“Yang aneh, Andri yang jelas-jelas tidak sekolah lantaran mengalami keterbelakangan mental menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP),” tutur Sekdes.
Sementara seorang warga Desa Sasakan, Paulus juga menerangkan. Keluarga tersebut sangat memperhatikan, apalagi semenjak Ibu mereka, Alm. Marusa meninggal sajak tiga bulan lalu tidak ada lagi orang yang normal di rumah tersebut. Sehingga hidup mereka samakin memprihatinkan.
Paulus juga menjelaskan, Rumah yang ditempatinya sebenarnya hanya berbentuk gubuk sehingga warga gereja melakukan gotong-royong untuk merenovasi rumah tersebut.
“Lebih baik kita yang normal tidak menerima bantuan daripada orang seperti ini yang sangat membutuhkan namun hanya sebatas didata saja,” papar Paulus.
Parman Parman Parrang yang juga warga Sasakan mengemukakan, pihaknya juga memiliki dua orang anggota keluarganya yang mengalami keterbelakangan mental yakni, Rice (45) yang merupakan saudara kandungnya dan Astuti (15) yang merupakan anaknya. Parman menerangkan, Rice mengalami kelainan sejak kelas IV SD.
Sementara Astuti mengalami kelainan sejak umur dua tahun. Katanya, pihaknya belum menerima perhatian khusus dari pemerintah sehingga Rice dan Astuti hanya dirawat seadanya sambil menunggu uluran tangan pemerintah.
Kondisi yang sama juga dirasakan keluarga, Ester. Seorang anggota keluarganya juga mengalami hal serupa namun hingga sekarang masih menunggu hasil pendataan dengan harapan akan memperoleh bantuan dari Pemda Mamasa atau Pemerintah Pusat.
Lain halnya yang dialami Musa yang juga memiliki seorang anak dengan kondisi keterbelakangan mental dan merupakan penyandang Disabilitas (cacat) yakni, Kelsi yang masih berumur 7 tahun dan anak ke tiga dari empat orang bersaudara.
Walaupun keluarganya telah menerima bantuan PKH namun Kelsi hanya hanya bisa terbaring dengan model kaki tersilang dan tidak dapat bicara lantaran pihak keluarganya belum memiliki biaya untuk pengobatan anaknya.
“Kami telah memperoleh bantuan PKH namun hanya habis digunakan untuk perawatan Kelsi. Kartu BPJS juga telah ada namun untuk membiayai ke rumah sakit keluarga tidak mampu,” tutup Musa.