Muhammad Arif, mantan Sekdes Bonde-Bonde. Foto : Putra
Majene, mandarnews.com – Polres Majene mengakui jika pihaknya telah melakukan pemanggilan terhadap Muhammad Arif atas laporannya dan dilakukan interogasi. Polres Majene juga telah melayangkan undangan ke pihak terkait laporan Muhammad Arif.
“Jadi untuk lainnya, seperti Kepala Desa, Inspektorat dan aparat desa lainnya, kami telah melayangkan undangan, untuk dimintai keterangannya nanti,” ujar AKP Jamaluddin, Kasat Reskrim Polres Majene, Rabu (12/8).
AKP Jamaluddin menyatakan belum bisa menyimpulkan karena baru mengirimkan undangan.
“Baru kita cari tahu kesalahan prosedurnya seperti apa yang dilanggar atau seperti apa. Karena disitu juga ada kewenangan kepala desa memberhentikan aparat desa,” ujar AKP Jamaluddin.
AKP Jamaluddin menyebut, salah satu syarat jika kepala desa ingin mengangkat aparat desa baru, jabatan aparat desa harus terlebih dahulu dikosongkan, minimal ada kekosongan dua bulan.
“Yang jelas kami masih selidiki atau proses penyelidikan, apa ada pidana atau tidak. Apalagi kita baru mengundang pihak lain. Sementara yang sudah diambil keterangannya baru pak Arif (Muhammad Arif),” tutup Kasat Reskrim tersebut.
Tempuh Jalur Hukum
Muhammad Arif, sekretaris Desa Bonde – Bonde, Kecamatan Tubo Sendana, Kabupaten Majene periode tahun 2016 – 2017 mengaku siap menempuh jalur hukum. Ia menilai proses yang selama ini berjalan belum menemui titik terang.
“Kami sudah melaporkan kasus ini ke Polres Majene 26 Juni 2020, dan kami telah memenuhi panggilan kepolisian 30 Juli 2020 kemarin,” jelas Arif, Senin (11/8).
Menurutnya, ia melapor ke Polres Majene mewakili 11 teman aparat desa lainnya yang ikut serta diberhentikan secara serentak.
Arif menjelaskan, yang melatarbelakangi kasusnya, sehingga berujung ke jalur hukum adalah, pada awal tahun 2018, Ia bersama 11 aparat desa Bonde – Bonde lainnya mengaku diberhentikan secara sepihak oleh Kepala Desa Bonde – Bonde, Kec. Tubo Sendana, Kab. Majene, Nuruddin.
“Kami tidak tahu alasannya mengapa kami diberhentikan. Dan kami menganggap pemberhentian ini dilakukan secara sepihak. Padahal dalam proses pengangkatan dan pemberhentian aparat desa ada aturan yang mengatur,” jelas Arif.
Lebih jauh Arif menjelaskan, proses penyelesaian kasus tersebut telah lama berjalan. Dan sudah berbagai upaya mediasi dilakukan. Hanya saja sampai saat ini belum ada titik terang tentang kasusnya ini.
“Sebenarnya sudah berbagai upaya dilakuan, bahkan sudah sampai di inspektorat karena saat itu Dinas PMD melimpahkan kasus ini ke Inspektorat, hanya saja kami tidak tahu, proses ini tersendak dimana. Padahal waktu itu, sudah ada laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari inspektorat,” tukas Arif.
Lebih jauh, kata Arif, pihaknya tidak masalah jika diberhentikan, hanya saja ia menanyakan sebenarnya seperti apa proses pemberhentian yang sesaui aturan dan sejauh mana peran hukum yang ada.
“Dari awal juga sudah sangat jelas bahwa ini menyalahi prosedur, karena seharusnya sebelum melakukan penjaringan, jabatan perangkat desa dikosongkan. Sementara ini tidak. Kami masih aktif dan berkantor tapi dilakukan penjaringan,” tandasnya.
Menurutnya, undang – undang sudah jelas bahwa tidak boleh melakukan penjaringan sebelum jabatan kosong.
Lebih miris, menurut Arif, saat ia menjabat Sekdes bulan Desember 2017, ia sampai tidak mengetahui kapan dan dimana pembentukan tim penjaringan perangkat desa tersebut. Padahal kala itu dirinya masih menjabat sebagai Sekdes.
Arif juga mengatakan, pemberhentian yang dilakukan oleh Kades tersebut kepada 12 perangkat desa termasuk dirinya, tanpa ada rekomendasi tertulis dari camat.
“Saat kami terima SK pemberhentian kami tanyakan alasan pak desa. Tapi saat itu, malah pak desa menjawab bahwa jabatan perangkat desa adalah jabatan politik, padahal itu salah,” ujar Arif.
Kata Arif, dalam undang – undang tidak ada yang mengatakan seperti itu.Yang ada adalah jabatan kepala desa yang menjadi jabatan politik.
“Jadi ini juga menjadi tanda tanya besar, kenapa sampai sejauh ini sudah dua tahun lebih tapi hasilnya tidak ada. Makanya, kami punya inisiatif melaporkan ini ke Poles,” ucap Arif.
Arif berharap, dengan ditanganinya kasus tersebut oleh pihak kepolisian, kasus pemberhentian 12 aparat desa tersebut dapat terselesaikan.
Kata Arif, ia sendiri bergabung di Desa Bonde – Bonde sejak tahun 2015 sebagai KAUR Perencanaan. Di 2016 kebetulan Sekdes yang menjabat saat itu lolos PNS sebagai guru, sehingga dirinya diangkat jadi Sekdes. Hingga akhirnya, sampai 4 Januari 2018 ia sudah tidak aktif, sesuai dengan SK pemberhentian yang diberikan Kades tersebut.
Konsultasi ke Camat
Nuruddin Kades Bonde – Bonde mengatakan, sebelum melakukan pembentukan tim atau panitia perekrutan aparat desa, pihaknya terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan Camat Tubo Sendana.
“Jadi kami telah bermohon kepada pak camat dan ada rekomendasi camat yang kami terima. Makanya,saya sampaikan di PMD pas dipanggil, saya bilang wajar saja saya keliru karena saya baru, tetapi lebih parah pak camat kenapa berani mengeluarkan rekomendasi,” ucap Nuruddin melalui telpon, Rabu (12/8).
Nuruddin menyatakan telah membentuk panitia, baru melakukan pembukaan perekrutan.
“Jadi kami membuka perekrutan karena sudah berakhir masa SK nya Desember 2017 yang aparat desa. Karena SK itu pertahun. Jadi dibuka perekrutan tapi aparat lama tidak ada yang mendaftar,” ujar Nuruddin.
Nuruddin juga menjelaskan, jika aparat desa yang diberhentikan berjumlah 9 orang, bukan 12 orang. Dua diantaranya adalah staf dan operator jadi bukan perangkat desa.
Dari 9 orang tersebut, dua diantaranya kepala dusun. Kepala dusun diberhentikan karena ada surat pengunduran dirinya.
“Jadi dia mengundurkan diri waktu itu karena ternyata dia masuk sebagai tim pemenangan. Dua kepala dusun tersebut yakni Kadus Camba Raya dan Kadus Rawang-Rawang. Tapi Kadus Camba Raya sudah menjadi anggota BPD, mewakili dusunnya,” jelas Nuruddin.
Kepala Bidang Pemerintahan Desa, Dinas PMD Kabupaten Majene, Sugiarto, menjelaskan untuk pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa telah diatur dalam Peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) Nomor 67 Tahun 2017 tentang perubahan atas Permendagri Nomor 83 tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa.
“Jadi jika benar, dilakukan penjaringan sebelum ada kekosongan jabatan, itu sudah ada kesalahan. Karena dasar untuk penjaringan atau pembentukan tim itu dasarnya SK pemberhentian,” kata Sugiarto, di Ruang Kerjanya, Rabu (12/8).
Sementara untuk proses pengangkatan itu, jelas Sugiarto, harus ada dulu SK pemberhentian. Setelah ada SK pemberhentian, baru membentuk tim atau panitia, melakukan penjaringan dan penyaringan, lalu kemudian diusulkan ke camat, dan rekomendasi camat itulah yang ditindaklanjuti,” tandas Sugiarto.
Sugiarto menjelaskan, proses yang seharusnya adalah kepala desa mengusulkan ke camat dan nanti ada rekomendasi dari camat setuju atau tidak setuju baru ditindaklanjuti atau dikembalikan ke desa. (Putra)