- Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
- Pegiat Literasi Nusa Pustaka, Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar.
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization, badan pangan dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa), beberapa tahun terakhir. Pangan pernah mencapai harga tertinggi sejak Mei 2013 lalu. Di pedalaman, tepatnya di Puppuquring dan sekitarnya, sepertinya itu tak berpengaruh.
Puppuquring (baca: Puppu’uring) desa kecil di pedalaman Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Dulu, sewaktu saya masih SD atau di tahun 90-an, untuk ke sana hanya bisa jalan kaki atau menggunakan kuda. Sekarang, ojek sudah sampai di sana. Dari ibukota Kecamatan Allu, Petoqosang, sewa ojek ke Puppuquring Rp 50.000. Butuh waktu satu setengah jam perjalanan. Jika hujan, waktunya bisa berjam-jam dan harga lebih mahal.
Pad tahun 2014, saya pernah ke sana menggunakan sepeda. Jika bersepeda (sebenarnya lebih banyak mendorong) bisa seharian, tapi karena saya singgah-singgah, dari pesisir Teluk Mandar, saya menempuh perjalanan tiga hari. Mungkin jaraknya 50-an kilometer.
Masyarakat pedalaman memiliki pola ketahanan pangan dibanding masyarakat kota. Dalam proses ketahanan pangan ala pedalaman itu terdapat warisan ribuan tahun lalu dari nenek moyang kita. Ketika pertama kali membudidayakan tanaman serelia, khususnya padi (ladang) dan jawawut (“tarreang” dalam bahasa Mandar). Masyarakat di pedalaman atau pegunungan masih menjalankan tradisi budidaya beras merah.
Itu ada di Toraja, di Mamasa, dan pedalaman Polewali Mandar. Sejak memiliki bayi, saya lebih rajin membeli beras merah di supermarket. Harga mahal padalah sedikit. Dari aspek gizi, beras merah lebih baik dari pada beras putih bila akan diberikan kepada bayi. Bukan hanya itu, penderita penyakit gula juga dianjurkan lebih banyak mengkonsumsi beras merah dari pada beras putih.
Beras merah lebih mempengaruhi gen kita daripada beras putih. Dengan kata lain, mengkonsumsi beras merah merentang ratusan hingga ribuan tahun dikonsumsi manusia, nenek moyang kita, setidaknya masyarakat Austronesia, dibanding yang berwarna putih. Ketika beralih ke beras putih, ada perubahan. Kita menjadi lebih rentang diserang penyakit yang dulunya tak begitu banyak riwatnya diderita masyarakat Asia. Misalnya kegemukan, jantung dan penyakit gula.
Ada kebahagiaan menjalani perjalanan ke pedalaman Mandar, yang juga kampung kakek buyutku. Saat ke sana,bersamaan masa panen beras merah di pedalaman. Di beberapa tempat, di lereng bukit, padi mulai menguning. Di hari kedua, ikut proses panen.
Uniknya, panennya menggunakan cara kuno yang tak ditemui lagi di panen padi di pesisir atau padi sawah. Saat panen padi pegunungan digunakan “raqapang” atau awi-awi dalam Bahasa Indonesia. Di masyarakat pantai, itu hanya bisa disaksikan ketika panen “tarreang” (jawawut). Misalnya di Palippis (Polewali Mandar) dan sekitarnya.
“Maqdokkang” dan “massangking” sama-sama berarti panen, tapi itu beda. Yang pertama lebih tepat digunakan ketika merujuk pada panen padi ladang atau pegunungan, yang menggunakan “raqapangî”. Sedang “massangking” digunakana pada panen padi sawah.
Ada juga istilah “mebuas” atau “mepare”. Yakni tempat atau kegiatan yang sedang berlangsung proses panen “pare”. Mungkin kalau bahasa Mandar di pesisir diistilahkah “mappare”. Untuk hal ini harus dikaji lebih mendalam lagi. Maksud saya, meski masyarakat pedalaman di Polewali Mandar sebagian besar menggunakan bahasa Mandar kebanyakan, tapi ada beberapa istilah yang berbeda.
Jika beras putih atau yang ditanam di petak sawah, yang berair, umurnya tiga sampai empat bulan, maka beras merah lebih lama dua tiga bulan. Alias bisa sampai enam bulan. Itu berarti hanya bisa dibudidayakan satu kali dalam satu tahun. Sebab setelah panen atau di antara masa penanaman, jenis lain yang ditanam. Misalnya jagung, kacang hijau, dan ubi kayu.
Ketika panen, itu dilakukan secara gotong royong oleh penduduk. Bisa separuh penduduk kampung ikut membantu panen. Para pemanen mendapat bagi hasil, yakni dibagi lima. Misalnya pemanen mendapat lima ikat (“basse”), maka satu ikat dia ambil sebagai upah, sedang empat ikat dimiliki oleh pemilik ladang. Yang memanen bukan hanya ibu-ibu, tapi bapak-bapak dan anak kecil. Wanita hamil pun ikut serta. Yang terakhir ini saya agak kasihan melihatnya. Soalnya panen dilakukan di perbukitan, yang ketika saya menuju ke sana, ngos-ngosannya bukan main.
Anak kecil yang ikut sampai sepuluh orang. Mereka semua anak sekolah. Lalu kenapa mereka melakukan panen di jam-jam belajar? Selain alasan bisa dapat beras, dalih lain adalah guru yang memang malas masuk. Menurut informasi beberapa orang tua siswa dan pengakuan siswa, jam belajar mereka tidak teratur. Kadang beberapa hari tidak belajar, pasalnya guru bersangkutan, yang tinggal di desa (baca: kota) lain, jarang datang. Jika pun datang, mereka datang Rabu pulang Jumat.
“Ya, kami biasa tidak pergi bersekolah kalau ada panen. Tapi itu juga disebabkan gurunya tidak masuk,” cerita Nia, gadis dari Puppuquring yang saat ini tinggal di kediaman saya, di desa pesisir, Pambusuang, Polewali Mandar. Menurut Nia, yang melanjutkan pendidikan di MA Pesantren Nuhiyah Pambusuang, kalau ikut membantu mereka dapat pembagian beras. Beras itu kemudian dikasih ke orang tua untuk selanjutnya menjadi cadangan makanan keluarga mereka. “Kita tak jual beras yang dipanen, dimakan sendiri. Tapi kadang-kadang juga beli beras putih,” tambah Nia.
Usai panen, padi disimpan masih bersama tangkai dan kulitnya. Itu disimpan di tempat penyimpanan khusus atau digantung di plafon rumah. Kalau disimpan bersama kulit bisa tahan berbulan-bulan. Nanti mau diolah baru ditumbuk menggunakan lesung kayu.
Pertama kali ke Puppuquring dan menyaksikan aktivitas warisan ribuan tahun lalu untuk kemudian mengkonsumsinya, bagai memasuki lorong waktu. Masyarakat pedalaman, yang selama ini dilekati stereotipe masyarakat kolot, memberi pelajaran akan sebuah strategi ketahanan pangan. Ya, mereka bisa mandiri menyiapkan sumber pangan mereka.
Tapi sejauh mana mereka bisa bertahan? Apakah akses transportasi yang makin lancar ke sana tidak menggoda mereka untuk beralih ke beras putih? Apakah ada di benak mereka ada pikiran untuk tidak perlu berpayah-payah menanam padi merah alias tinggal membeli saja beras putih? Mencari jawaban itu dan keinginan merasakan lebih lama merasakan kehidupan di sana mendorongku untuk segera kembali ke Puppuquring, negeri beras merah di tanah Mandar. (***)