Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia periode 2017 – 2022, Abdul Manan dan Revolusi Riza. Foto ; Irwan Fals
Mandarnews.com – Indonesia dalam beberapa tahun ini memberi sinyal yang kurang menggembirakan dalam soal kebebasan pers dan berekspresi. Sejumlah tindakan organisasi massa intoleran, regulasi pemerintah dan kebijakan negara, justru bertolak belakang dengan semangat demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat, menjaga toleransi, menolerir perbedaan, dan menjadikan hukum sebagai panglima dibandingkan politik.
Salah satu contoh dari sikap berbahaya organisasi massa adalah maraknya persekusi dalam tahun 2017 ini. Menurut data Koalisi Anti-Persekusi, di tahun 2017 ini setidaknya ada 87 kasus persekusi yang menimpa warga sipil. Salah satu pelakunya adalah Front Pembela Islam (FPI). Mereka melakukan kekerasan terhadap seseorang yang awalnya tak setuju pendapatnya dan mengkritik perilaku para pemimpinnya. Kekerasan itu awalnya melalui media sosial tapi kemudian berlanjut secara fisik.
Persekusi hanya salah satu contoh dari apa yang kita kenal kemudian sebagai ciri dari menguatnya intoleransi. Fenomena ini makin menguat karena dipicu oleh perseteruan keras dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Selain persekusi, sikap intoleransi ini juga muncul melalui ungkapan bernada kebencian yang banyak tersebar di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan semacamnya. Ini diperparah oleh cepat tersebarnya berita hoax, yang kerap penuh dengan nuansa permusuhan antara satu kelompok dengan yang lainnya.
Perkembangan lainnya, meski bukan sepenuhnya hal baru, adalah soal kriminalisasi terhadap jurnalis dan media yang juga masih terjadi. Namun, yang juga tak kalah mengkhawatirkan adalah masih tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pada tahun 2015, jumlah kasus kekerasan tercata 42 kasus. Jumlahnya melonjak drastis menjadi 78 pada tahun 2016. Ironisnya, dalam kurun waktu 2015-2016 itu, tiga pelaku kekerasan terbanyak adalah warga, polisi dan TNI.
Daftar peristiwa memprihatinkan itu kian bertambah panjang dengan masih terjadinya impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tak diproses hukum. Selain itu, hampir semua kasus pembunuhan terhadap jurnalis tak jelas proses hukumnya: Fuad M. Syafrudin (1996), Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), Muhammad Jamaluddin (2003), Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), Adriansyah Matrais Wibisono (2010), Alfred Mirulewan (2010), Aryono Linggotu (2012).
Selain itu, soal Papua menjadi salah satu kritik utama soal kebebasan pers Indonesia di mata internasional. Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi di daerah ini. Namun, kritik lainnya adalah soal tertutupnya akses jurnalis ke daerah yang masih bergolak ini. Sebenarnya presiden Joko Widodo, 10 Mei 2015, pernah menyampaikan janjinya untuk membuka akses jurnalis asing seluas-luasnya ke Papua. Hanya saja, pelaksanaannya tak semanis yang disampaikan pemerintah.
Keberpihakan pemerintah dan negara juga dipertanyakan soal komitmennya terhadap kebebasan pers. Sebab, hingga kini masih terdapat sejumlah regulasi yang mengancam kebebasan pers, yang itu ada dalam Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Intelijen dan Undang-Undang Pornografi. Pada 24 Oktober lalu pemerintah dan DPR juga mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organiasi Kemasyarakatan. Salah satu pasal dalam PP itu yang dikritik keras adalah adanya kewenangan pembubaran tanpa melalui pengadilan.
Sejumlah hal di atas mengindikasikan bahwa ada bahaya jelas yang mengancam terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Pelakunya beragam, mulai dari masyarakat, organisasi massa hingga pemerintah. Oleh karena itu, dalam resolusi ini AJI:
- Meminta publik, pemerintah, dan aparat untuk menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sebab, ancaman terhadap dua kebebasan ini akan berdampak kepada semua orang dari semua kalangan. Jika kebebasan ini dirampas, publik juga yang akan terkena dampaknya. Kondisi itu akan menyebabkan semua orang akan dibatasi kebebasannya. Dampak bagi jurnalis, pengekengan terhadap kebebasan itu juga akan berdampak terhadap tugasnya yang memberikan informasi kepada publik. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk menjaga kebebasan adalah tangungjawab kita bersama, bukan hanya jurnalis dan organisasi profesinya.
- Mendesak Aparat Penegak Hukum untuk mengakhiri praktik impunitas dengan cara memproses hukum di peradilan bagi semua pelaku kasus-kasus kekerasan, terutama pembunuhan terhadap delapan jurnalis. Proses hukum merupakan mekanisme yang sangat tepat untuk memutus mata rantai kekerasan. Sebab, membawa pelaku kekerasan ke muka pengadilan dan menghukumnya sesuai kesalahannya akan memberi pesan yang jelas kepada siapa saja untuk tak melakukan tindakan serupa di kemudian hari.
- Mendesak Dewan Pers untuk mendorong proses hukum di pengadilan umum bagi aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
- Meminta pemerintah mencabut atau merevisi regulasi yang membahayakan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sebab, kebebasan berekspresi merupakan salah satu bentuk hak yang jelas dilindungi oleh Konstitusi. Pemerintah, seperti diamanatkan oleh undang-undang, bertugas memastikan bahwa hak-hak dasar warga negara itu terpenuhi.
- Menyerukan kepada jurnalis, media, dan organisasi jurnalis untuk bersama-sama menjaga kebebasan pers. Salah satu caranya adalah dengan mempersoalkan kebijakan yang bisa merampas hak yang sudah jelas dilindungi Konstitusi dan undang-undang tersebut. Kebebasan adalah salah satu prasyarat dari negara demokrasi dan menjadi faktor penting untuk tetap terciptanya masyarakat terbuka dan negara yang lebih bertanggungjawab kepada rakyatnya
- Mendesak pemerintah memberikan jaminan kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan membuka akses jurnalis melakukan kerja jurnalistik di Tanah Papua.
Sumber :Â AJI Indonesia