Jakarta – Rupiah ternyata masih cukup kuat ditengah pelemahan mata uang sejumlah negara dibandingkan dollar Amerika Serikat. Bahkan rupiah termasuk yang paling tangguh dibandingkan mata uang enam negara anggota G-20.
Berdasarkan data Bloomberg, terhitung sejak awal tahun hingga pertengahan Agustus 2018, nilai tukar rupiah lebih mampu menahan penguatan Dolar AS jika dibandingkan dengan mata uang Turki, Argentina, Rusia, Brasil, Afrika Selatan dan India. Bahkan dalam sepekan terakhir, nilai rupiah tidak menyentuh Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat.
Sejak awal tahun hingga pertengahan Agustus 2018, rupiah melemah 7,7 persen terhadap dolar AS. Sementara Lira Turki melemah 80,43 persen dan Peso Argentina (56,90 persen). Rupiah juga lebih kuat jika dibandingkan Rubel Rusia yang melemah 17,62 persen, Real Brasil (16,66 persen), Rand Afrika (16,65 persen) dan Rupee India (9,66 persen).
Data Reuters juga menunjukkan pelemahan nilai tukar rupiah tidak terlalu dalam jika dibandingkan enam negara anggota G-20. Dari awal tahun hingga akhir Agustus 2018 atau year to date, rupiah melemah 8,4 persen.
Untuk periode yang sama, pelemahan Lira Turki sebesar 42,9 persen, sedangkan Peso Argentina (51,1 persen). Sementara Rupee India mengalami pelemahan 10,4 persen, Rubel Rusia (15,1 persen), Rand Afrika Selatan (16,7 persen) dan Real Brasil (20,4 persen).
Sedangkan khusus untuk Agustus 2018, rupiah melemah 1,6 persen. Angka ini jauh di bawah Lira Turki yang sebesar 25 persen dan Peso Argentina (26 persen).
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Denni Puspa Purbasari menegaskan pelemahan rupiah tidak akan mencapai titik krisis moneter seperti tahun 1998. Pemerintah tidak panik, tetapi lebih mawas diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan terkini di dunia internasional.
“Situasi Indonesia ini jauh berbeda dibandingkan kondisi pada 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibanding 1998,” kata Denni, Rabu (12/9/2018).
Cadangan devisa Indonesia per akhir Juli 2018 mencapai 118,3 miliar dolar AS. Sementara saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998, cadangan devisa Indonesia hanya sebesar 23,61 miliar dolar AS.
Indikator positif lainnya, kata Denni, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing sebesar 4,5 miliar dolar AS ke Indonesia. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga solid serta tidak ada masalah dengan peringkat surat utang pemerintah.
“Sehingga kita masuk dalam investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga pemeringkat ekonomi,” ungkapnya.
Dikatakan Denni, yang tak kalah penting dalam situasi seperti saat ini adalah independensi BI. Situasi ini berbeda dengan negara lain seperti Turki dan Argentina yang juga tengah mengalami krisis.
“Ini beda dengan intervensi yang dilakukan pemerintah Turki dan Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika bank sentral ingin menaikkan suku bunga, misalnya,” kata Denni.
Denni menambahkan, Indonesia juga memiliki hubungan baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, Cina, Korea Selatan dan Australia.
“Kita punya bilateral soft arrangement, jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada 118 miliar dolar AS,” jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu.
Terkait pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS, Denni mengingatkan, sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa komoditas lain, pemerintah juga mendapatkan windfall berupa kenaikan PNBP. Keuntungan ini antara lain digunakan untuk mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri, khususnya transportasi barang dan jasa.(rizaldy/KSP)