
Oleh: Nur Hadi Laksamono (Warga Wonomulyo)
Kata orang, cinta itu butuh waktu. Tapi katanya lagi, cukup tiga detik buat tahu kalau orang itu bohong. Dan cukup seratus hari untuk tahu: Samsul Mahmud bukan Baharuddin Lopa.
Di Mandar, seratus hari bukan hanya angka. Itu waktu di mana rakyat menunggu dengan degup kemana arah angin pertama, mau ke mana kemudi, dibawa ke laut mana lopi sandeq?
Tapi, yang terjadi justru kemudi kabur, kapal diam, dan ombak bau sampah datang duluan.
Janji-janji H. Samsul Mahmud dulu wangi. Kami sempat jatuh cinta. Iya, kami sempat mengira, “Wah ini, bupati baru, energi baru. Polman bakal bersinar lagi”.
Tapi, 100 hari ini malah jadi semacam kisah patah hati massal. Romansa rakyat dan pemimpinnya kini dihantui bau tak sedap dari pasar, drainase mampet, dan trotoar sepanjang jalan.
Sampah di mana-mana. Di Pasar Pekkabata, di jalan poros, bahkan di pinggir pantai.
Namun ironisnya, yang tercepat bergerak di daerah ini adalah lalat.
Kami kira seratus hari pertama itu waktu buat menunjukkan bahwa Bupati ini To Dilaling, pemimpin yang layak ditinggikan karena rasa dan adab.
Ternyata, lebih mirip To Disayang di Baliho, Tapi Dikecewakan di Lapangan.
Sungguh, jika Baharuddin Lopa hidup kembali dan turun dari langit Polewali, mungkin beliau akan berkata begini sambil menunjuk tumpukan sampah, “Ini bukan kelalaian teknis. Ini kelalaian moral.”
Dan kita tahu, Baharuddin Lopa bukan orang yang suka basa-basi. Banyak catatan integritas yang Baharuddin Lopa tinggalkan seperti pecat pejabat korup tanpa ragu, menegur dengan wajah keras apabila ada yang keliru, akan tetapi hatinya penuh cinta pada negeri.
Maka, bayangkanlah betapa hancur hatinya melihat tanah Mandar tercemar, bukan oleh musuh, tapi oleh kelalaian pemimpin sendiri.
Di Mandar, seorang pemimpin bukan cuma bupati. Masyarakat Mandar dari aspek sosio-historis meneladani To Dilaling sebagai sosok yang ditinggikan karena akhlaknya, mengidolakan To Mepayung karena memayungi bukan hanya dengan pidato, tapi dengan kebijakan yang menyentuh semua lini kehidupan di tanah Mandar, menyapa rakyat, dan mengangkat derajat masyarakat Mandar.
Sekarang?
Yang kita punya hanya baliho besar, janji besar, dan tumpukan sampah yang lebih besar.
Rakyat Mandar bukan rakyat yang manja. Mereka tahan lapar, tahan asin, tapi tidak tahan dibohongi. Karena sejak kecil kami diajarkan siri’ atau harga diri. Kami lebih rela jalan kaki daripada dipimpin oleh orang yang kehilangan malu.
Hj. Andi Depu dulu berperang demi kehormatan bangsanya. Tapi sekarang, kami harus berperang melawan sampah yang dibiarkan. Seolah-olah lingkungan bersih adalah kemewahan, bukan kebutuhan.
Masalah sampah bukan sekadar urusan teknis, namun masalah sampah adalah urusan nurani dan urusan wibawa. Karena pemimpin yang membiarkan rakyatnya hidup dalam bau busuk, pada dasarnya sedang membunuh pelan-pelan martabat wilayahnya.
To Dilaling dulu bisa dihormati karena tahu akan rasa dan persoalan yang dihadapi rakyatnya, sedangkan To Mepayung dulu dipercaya karena bisa menjaga rakyatnya dari semua persoalan yang akan dihadapi dengan merangkul masyarakat Mandar dengan rasa dan kebijaksanaan yang sangat tulus.
Sekarang?
Rakyat hanya bisa berharap semoga angin barat membawa nurani dan rasa malu ke kantor bupati, semoga laut Mandar membawa pesan dari para Maradika: “Jangan jadikan tanah ini tempat menumpuk aib. Jadikan ia tanah yang disapu bersih oleh kejujuran, dibersihkan oleh kehendak, dan ditata oleh niat yang betul-betul bekerja”.
Dan jika bupati masih sibuk mencari alasan, barangkali beliau harus ziarah ke makam Baharuddin Lopa. Duduk diam sebentar. Dengarkan bisikan moral yang sudah lama hilang dari kantor-kantor pemerintahan, “Kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah bentuk lain dari pembusukan. Dan tak ada yang lebih busuk dari bau pengkhianatan terhadap amanah rakyat”.
Akan tetapi, di tengah bau sampah yang semakin akrab bagi hidung rakyat, pemerintah daerah malah lebih sibuk mengurusi seremonial dan potong pita.
Kamera jalan terus memotret masyarakat yang hidupnya dikepung bau busuk dan seringkali menutup hidung lalu mengutuk pemerintah apabila hembusan angin sedang tidak bersahabat, tetapi armada sampah tetap mogok.
Mereka lebih khawatir pada suara sumbang di kolom komentar Instagram, ketimbang suara batuk anak-anak kampung yang tinggal tak jauh dari TPS liar. Seolah estetika feed medsos lebih penting dari estetika kota.
Padahal, rakyat Mandar itu bukan minta langit dijatuhkan. Mereka cuma ingin tanahnya bersih. Airnya mengalir. Udara bisa dihirup tanpa khawatir paru-paru mengeluh.
Kalau itu saja tak bisa diwujudkan dalam 100 hari, lalu kita harus menunggu berapa hari lagi?
500 hari?
5 tahun?
Atau sampai pemilu berikutnya, saat janji-janji kembali diketik dengan huruf miring dan spasi besar-besar.
Bau busuk sampah juga menjadi marjin dan catatan pinggir bagi ibu-ibu yang hendak berbelanja di pasar, serta petani yang menggarap sawahnya.
Tapi, sebagai rakyat yang masih punya hati, izinkan kami tetap memberi ruang untuk harapan.
Bukan karena kami naif, tapi karena kami tahu tidak ada yang lebih memalukan dari pemimpin yang diberi kesempatan tapi gagal menebusnya.
Seratus hari pertama sudah lewat, sampah masih di situ. Tapi, kalau dalam seratus hari kedua masih sama juga, mungkin yang harus kita buang bukan cuma plastik dan botol, namun juga narasi palsu yang dibungkus dalam baliho ukuran tiga kali tiga.
Sebab di tanah Mandar ini, satu hal yang tak bisa dikompromi adalah siri’—rasa malu.
Dan seorang pemimpin yang tak lagi punya rasa malu, lebih buruk dari lalat yang hinggap di tumpukan janji.