Ia menilai, kesepakatan tersebut harus bisa terkonsolidasi dalam agenda strategis dan program prioritas.
“Tidak hanya di kementerian/lembaga tapi juga semua unsur termasuk dunia usaha dan masyarakat sipil. KSP akan mengawal itu,” tegas Ruhaini yang juga Guru Besar bidang HAM dan Gender.
Kesepakatan Indonesia dengan Singapura dalam pengambilalihan FIR di Natuna, sambung dia, memiliki tiga substansi penting, yakni kepentingan substantif kebangsaan, kepentingan politis strategis kenegaraan, dan kedaulatan hakiki.
“Ini menegaskan Indonesia sebagai the emerging country yang punya kewibawaan politis serta modalitas sumber daya produktif dan kompetitif,” terang Ruhaini.
“Sekaligus menguatkan kepentingan resiliensi sosial menghadapi globalisasi pada era revolusi industri 4.0,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dalam acara Leader’s Retreat di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1), melahirkan beberapa kesepakatan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Beberapa kesepakatan yang dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian tersebut, diantaranya soal pengambilalihan kendali udara (FIR) di Natuna dari Singapura dan perjanjian ekstradisi dengan memperpanjang masa retroaktif dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun. (KSP)