Sosialisasi Perda yang dilangsungkan di gedung pertemuan SMA Negeri 1 Sendana, selasa 29 Maret pukul 13.00 wita hingga menjelang magrib membahas tentang kelembagaan adat dan pemaparan sejarah Pemerintahan Kerajaan Sendana, tiba-tiba berlangsung tegang. Pemicunya, salah satu penanya, Hamid Bola, yang juga seorang penulis sejarah Sendana, mengungkit kembali insiden yang mengakibat rusaknya dinding rumah adat di Desa Putta’da.
Akibatnya, Arman -salah seorang Tokoh Pemuda Desa Puttada- tidak menerima Hamid Bola mengungkit insiden tersebut. Dia menganggap itu diluar pembahasan. Aksi penolakannya berlanjut dengan meninggalkan ruangan sosialisasi.
Ketegangan pun berlanjut ketika Opi MR, anak dari salah seorang budayawan Mandar, Almarhum Muis Manra, memprotes penulisan sejarah Mandar yang selalu identik dengan bahasa Mandar Balanipa. Misalnya, kata dia, jika di Sendana menyebut toqdoang (to’doang) sedangkan di Balanipa menyebut arriang dan kata-kata seperti arriang (bahasa Mandar Balanipa) yang selalu digunakan dalam penulisan sejarah Mandar dalam bahasa Mandar.
Tak sampai disitu, dia pun mengkritik penulisan bahasa mandar yang menggunakan huruf q atau tanda ‘ misalnya penulis mengunakan kata malaqbiq sedangkan penulis lain menggunakan mala’bi’ sehingga menjadi pertanyaan, manakah yang benar mala’bi’ atau malaqbiq. Opi MR akhirnya mengusulkan digelar seminar bahasa Mandar.
Tapi ketegangan dapat dinetralkan kembali setelah ada penjelasan-penjelasan dari pemateri. Suasana sosilasasi akhirnya berlangsung normal sampai acara ditutup menjelang magrib.
Pemateri yang juga budayawan asal Polewali Mandar, Suradi Yasil, mengiyakan permintaan Opi MR, bahwa perlu diadakan seminar bahasa Mandar agar ada kesamaan presepsi.
Meluruskan hal itu salah seorang undangan H. Ahmad Hasbi yang juga seorang Budayawan dan penulis asal Polewali Mandar, dengan sedikit nada bercanda.
"Sebenarnya penggunaan kata itu tidak perlu diperdebatkan karena penulis sejarah Balanipa banyak, sedangkan penulis sejarah Sendana saya tidak tahu karena saya tidak tinggal di Sendana," kata Ahmad Hasbi.
Dia menjelaskan, mungkin itulah penyebab sehingga bahasa Mandar yang digunakan orang Balanipa lebih dikenal daripada orang Sendana. Penjelasan Ahmad Hasbi disambut tawa oleh undangan yang hadir.
Sementara Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat, Drs. Darmansyah -belum lama ini diberi gelar Raden Kanjeng Tumenggung oleh keraton Surakarta karena keseriusannya menelusuri sejarah kerajaan yang ada di tanah mandar- mengamini agar seminar bahasa Mandar segera diadakan agar ada kesepakatan penggunaan huruf dan tanda baca.
Dia pun tidak menampik bahwa dia lebih sering menggunakan tanda baca (‘) mengganti huruf (q) agar pembaca tidak salah dalam mengucapkan bacaan tersebut karena bukan hanya suku Mandar yang menjadi pembaca.
Masih menyangkut dari sejarah sendana, pemateri DR Horst, peneliti asal Jerman yang mengaku sudah puluhan tahun di tanah Mandar mengatakan, dalam referensi atau literatur sebuah buku terbitan tahun 1926 yang berbahasa Belanda, dalam buku tersebut tidak pernah menyebutkan Sendana akan tetapi Tubo di daerah majene, padahal menurut beberapa lontar yang ada bahwa Sendana adalah sebuah kerajaan besar di tanah Mandar. (haslan)