Penulis : Alam Saubil
Komunitas Educare
Semua orang mungkin hafal apa isi undang-undang pasal 31 ayat 1, “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak”. Jika menelaah lebih jauh, kita akan tiba pada sebuah kesimpulan, bahwa sudah menjadi tugas negara untuk memastikan rakyatnya memperoleh pendidikan. Kata “berhak” disini mempertegas bahwa pendidikan itu bukan barang yang dapat di perjual belikan, melainkan ibarat sebuah sungai yang melintasi pemukiman, dimana setiap orang berhak untuk mengambil airnya.
Pendidikan secara sederhana dapat dimaknai sebagai usaha memanusiakan manusia. Yang secara umum kita kenal sebagai pendidikan formal (SD, SMP, SMA, sederajat dan Perguruan Tinggi). Paradigma ini yang kemudian tertanam jauh di dalam sanubari kebanyakan masyarakat indonesia sampai detik ini. Dan mulailah terjadi sebuah “masalah”. Disinilah kita terjebak. Menyekolahkan anak di sekolah formal tidak ubahnya merupakan investasi orang tua, yang kelak akan dirasakan keuntungannya di masa yang akan datang.
Sekolah formal yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan peniggalan kolonial yang kurikulumnya masih berkiblat pada kurikulum barat. Yang “kebanyakan”pada akhirnya hanya akan melahirkan robot-robot yang siap bekerja dengan bayaran tinggi. (Namun saya tentu tidak menolak sepenuhnya sekolah formal). Selain sekolah formal, sebenarnya ada sekolah informal yang jauh lebih substansial untuk dikembangkan dan harus mendapat perhatian khusus. Yaitu pendidikan keluarga. Ini yang kadang kita ‘nomor duakan’ saat ini.
Paradigma kebanyakan masyarakat telah “mensakralkan” pendidikan formal ini. kesakralan dalam keharusan berpendidikan formal tentu tidak lepas dari sistem atau manajemen kerja diberbagai lini di negara ini yang mengharuskan seseorang memiliki status atau gelar pendidikan formal untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga sepenunya tak dapat juga disalahkan paradigma yang pada akhirnya mengakar di masyarakat.
Bahkan para pemuda (dalam hal ini yang berdiri digarda terdepan, yang menamakan diri ‘mahasiswa’ pun terjebak dalam kesakralan ini. Tuntutan kepada pihak biroksasi atau pun pemerintah selalu mengalir untuk mewujudkan “pendidikan gratis”, pendidikan yang tidak pandang bulu, pendidikan yang merata, menolak komersialisasi pendidikan, dsb.
Sehingga gencar kemudian kita dapati aksi-demonstrasi turun kejalan agar tuntutan mereka (mahasiswa) terpenuhi. Dengan kajian yang dalam jauh berfilosofi tentang amanat konstitusi “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak”. Mereka gaungkan disetiap aksi.
Jadi sederhananya, pendidikan yang kita anggap formal selama ini, sebenarnya hanyalah merupakan alternatif atau opsi kedua (jika tak ingin menyebutnya tidak wajib) dari wujud keharusan dan keberhakan untuk memperoleh pendidikan. Opsi pertama atau yang paling wajib adalah pendidikan keluarga. Ini yang mestinya kita kembangkan dan diselaraskan dengan amanat undang-undang.
Menomor duakan pendidikan formal tentu tidak lantas membuat kita boleh mengabaikannya. Karena bagaimana pun pendidikan formal khususnya di perguruan tinggi adalah termasuk momentum untuk membuka carkawala ilmu pengetahuan yang lebih luas, terlepas dari apa yang saya katakan di atas mengenai luaran perguruan tinggi yang kebanyakan tak berbeda dengan “robot-robot”.
Pendidikan formal yang saat ini berjalan menjadi salah satu sumber masalah, ibaratnya ia adalah bom waktu yang pada akhirnya akan meledak dan menghancurkan sendi-sendi keilmuan serta generasi dimasa depan. Praktik-praktik komersialisasi pendidikan di perguruan-perguruan tinggi besar jelas merupakan sebuah bisnis ‘haram’ para kaum intelek yang terlibat di dalamnya.
Menjadikan pendidikan sebagai komoditi yang hanya mampu diakses penuh oleh kalangan pemilik modal, sampai jual-menjual penelitian guna menguntungkan perusahaan tertentu sudah terlalu jauh dari esensi pendidikan itu sendiri. Praktik-praktik seperti ini merupakan tanda bahwa kita tidak sedang berjalan di jalur nilai, melainkan di jalur-jalur keserakahan dan ketidakadilan.
Mari menyinggung sedikit tentang pendidikan keluarga, menurut perenungan penulis, pendidikan keluarga adalah proses ‘’pewarnaan” generasi. Warna yang dimaksud bukanlah warna yang permanen dalam diri generasi yang dididik, melainkan sebuah warna yang diberikan untuk memperjelas diri dan menuntunnya pada mencapaian hingga pertemuan jati diri sang generasi.
Setiap keluarga tentu memiliki cara/metode yang berbeda-beda dalam mendidik anak-anaknya. Namun dalam proses mendidik itu tidaklah boleh keluar dari markah-markah kehidupan berkemanusiaan (jika sungkan menyebutnya nilai-nilai ketuhanan). (Penulis belum berkeluarga, sekali lagi ini hasil perenungan)
Substansi pendidikan sejatinya ada dalam keluarga. Sekolah utama adalah sekolah di dalam keluarga. Jika ingin memperbaiki kualitas generasi muda, kita perlu memaksimalkan peran keluarga dalam mendidiknya. Karena keluarga adalah sisi terdekat kita kepada tuhan. Yang patut dibanggakan bukanlah gelar-gelar mentereng yang kita dapat dari perguruan tinggi ternama, melainkan gelar sebagai anak yang berbakti kepada orang tua.
Pendidikan harusnya mengajarkan itu. Karena seorang anak yang kurang pandai secara akademik namun punya sikap yang mulia lebih utama ketimbang anak yang memiliki kecerdasan secara akademik, namun tidak memiliki sifat mulia. Seorang anak tidak boleh diajarkan bersekolah untuk mencari ilmu, tapi seorang anak perlu diajarkan untuk mencari ilmu, dengan salah satu caranya adalah bersekolah di sekolah formal.
Jika muncul pertanyaan, bagaimana dengan orang yang tidak memiliki keluarga? Atau yang keluarganya bermasalah?. Nah, substansi dari keluarga adalah orang yang paling menyayangimu. Jadi semua yang menyayangimu adalah keluargamu. Ingat, bergurulah pada orang yang menyayangi dengan tulus. Karna ilmunya juga akan turun dengan tulus. Jangan berguru pada orang tidak menyayangimu, apalagi yang kepentingannya hanya memanfaatkanmu. (**)