Masjid Ridha Allah Somba
Masjid ini memang memiliki satu juta kenangan indwan, indah dan menawan. Sepanjang hidup saya, ini adalah masjid pertama yang saya masuki di Kabupaten Majene, waktu itu masih dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Ahad dini hari, medio Mei 2003, saya tiba di depan masjid ini, setelah naik bus Piposs sembilan jam sebelumnya dari terminal Panaikkang samping kantor Gubernur Jl. Jenderal Urip Sumoharjo Makassar.
Masjid ini terletak di jalan poros nasional yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Barat (sekarang sudah dimekarkan) dengan berbagai provinsi lainnya di jazirah Pulau Sulawesi. Ke utara, terdapat Provinsi Sulawesi Tengah, terus ke Gorontalo dan Sulawesi Utara. Ke arah selatan, boleh ke Makassar, Sulawesi Selatan dan bisa juga ke Kendari, Sulawesi Tenggara, dengan terlebih dahulu menaiki kapal penyeberangan dari pelabuhan Bajo, Kab. Bone atau pelabuhan Siwa, Kab. Wajo. Dengan kata lain, posisi masjid ini memiliki tempat yang amat strategis.
Masjid untuk Semua
Masjid ini bernama “Masjid Ridha Allah Somba”, terletak di Kelurahan Mosso Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Dari Kota Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat berjarak sekitar 120 km, ke selatan. Dari Kota Majene, 32 km arah utara. Dari Makassar sekitar 332 km arah utara.
Jika bepergian menggunakan bus ke arah utara, misalnya ke Kota Mamuju dan Kota Palu, biasanya busnya singgah di masjid ini. Beri kesempatan untuk shalat subuh para penumpangnya, atau sekedar buang air kalau dia non muslim, atau kepada yang muslim tapi tak akan sholat. Semuanya boleh, tak ada larangan. Bahkan gratis, tiada keharusan untuk membayar biaya toilet atau infaq.
Saya beberapa kali mendapati berbagai bus besar antar provinsi singgah di sini. Baik yang dari utara maupun yang dari selatan. Demikian juga pengguna mobil pribadi dan kendaraan roda dua. Bagi penumpang yang capek atau ngantuk, boleh istirahat sekedar membaringkan badan di dalam masjid. Tidak ada larangan, berbeda dari yang sering kita baca di berbagai masjid, “Dilarang tidur dalam masjid”!
Dibanding dengan keadaan saat saya pertama datang tahun 2003 lalu, saat ini kondisi masjid boleh dibilang sudah lumayan dan agak mewah. Bersih dan rapi, juga teratur dari aspek pengelolaannya. Luas bangunan sekitar 15 x 15 M, luas halaman demikian pula.
Di halaman ada bunga-bunga dan pohon nangka yang buahnya sedang dibungkus dengan 23 karung putih. Halamannya mampu memuat sekitar 10 kendaraan pribadi ukuran kecil. Sedangkan bus hanya bisa pakir di luar samping jalan raya.
Memiliki menara yang cukup tinggi dan cantik, sekitar 25 meter. Dari menara ini akan menyebarkan suara mengaji dan adzan yang merdu jelang waktu shalat. Terasa indah dan senang mendengarnya, khususnya bagi mereka yang menghayati lantunan kalimat yang mulia ini. Kadang ada juga pengumuman yang terdengar dari menara ini, seperti pengumuman duka cita. Di dalam masjid terpasang karpet yang halus dan harum. Tidak kurang dari dua puluh kipas angin yang berfungsi dengan baik dan lancar, membuat suasana di dalam terasa nyaman saat beribadah.
Tampaknya masjid ini baru saja selesai direnovasi. Kelihatan catnya masih baru. Ada juga bangunan baru tempat wudhu perempuan dan kamar kecil. Walaupun ini adalah masjid, tetapi toiletnya mirip toilet dalam kamar hotel yang ada di Makassar. Airnya bersih dan jernih, walau terasa agak lain, mungkin pengaruh air laut yang jaraknya sekitar 100 meter ke barat.
Manajemen Terbuka
Dalam penilaian saya yang mungkin subjektif, ini termasuk masjid yang paling baik sepanjang jalan Makassar – Mamuju. Ini juga dilengkapi dengan fasilitas penunjang keperluan umat. Misalnya terdapat klinik kesehatan, perpustakaan dan kantor remaja masjid. Yang tidak ketinggalan adalah pusat bimbingan dan konseling remaja. Apakah unit-unit berfungsi atau tidak, saya tidak tahu. Yang jelas ada papan nama unit-unit tersebut di samping masjid.
Tahun-tahun lalu, unit itu belum ada. Baru tahun ini kulihat. Sedangkan taman pendidikan Al Qur’an sudah lama beraktivitas. TPA ini berada di bangunan samping, lantai dua yang terbuat dari kayu ulin.
Dari aspek jamaah, saya justru terharu. Setiap saya ke sini, baik shalat subuh maupun magrib, jamaahnya cukup banyak. Misalnya tadi subuh. Ada dua shaf jamaah laki-laki dan dua shaf jamaah perempuan. Itu bukan saja karena ini baru selesai puasa. Tetapi setiap saat saya ke sini, walaupun bukan bulan Ramadhan, jumlah jamaah tetap banyak. Ini dapat saya pastikan karena dalam satu tahun ada sekitar 3 – 4 kali saya ke rumah ibu mertua untuk berbagai keperluan dan pasti shalatnya di masjid ini.
Banyaknya jamaah dan bagusnya bangunan serta fasilitasnya ditunjang dengan pengelolaan yang baik, dapat menjadi salah satu indikator menilai kehidupan umat Islam di kawasan ini. Masjid bagus tentu perlu dana, tentu dananya bersumber dari umat Islam di sini. Artinya tingkat kesejahteraan masyarakat di sini sudah lumayan baik, sehingga dapat menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid.
Tampak di papan pengumuman ada nama nama pengurus masjid. Ketuanya adalah H. Syafruddin, sekretaris, Basri, S.Pd., disertai sejumlah pengurus harian dan anggota seksi.
Sayang sekali tak ada papan pengumuman keuangan. Padahal salah satu ciri masjid adalah manajemen terbuka. Demikian juga pemeliharaan kebersihan masih perlu ditingkatkan.
Remaja masjidnya juga aktif. Kemarin saat malam takbiran, kendraan hias mereka mendapat juara satu dalam lomba tingkat kecamatan. Saya mendapati subuh hari remaja masjid berkumpul mempersiapkan pelaksanaan shalat idul fitri di lapangan Bura’ Sendana. Dari dulu remaja masjidnya sangat aktif. Diantara mantan remaja masjid yang aktif, sekarang sudah berkarir di berbagai instansi pemerintah antara lain H. Lukman, M.Pd, Wakil Bupati Majene saat ini.
Bertamu Dini Hari
Setelah turun dari bus subuh itu, saya menyeberang jalan menyusuri kegelapan malam. Penerangan masih terbatas, hanya satu-dua rumah yang menyala lampu di terasnya. Waktu menunjukkan pukul 03.45 Wita. Mencari rumah seseorang pada subuh hari, tentu agak sulit juga, terutama karena tidak ada tempat bertanya.
Setelah sempat salah memasuki rumah warga lain, akhirnya saya menemukan rumah yang kucari dengan tanda: ada pohon mangga, kelapa, jambu dan rumah panggung tangga kayunya persis di tengah. Juga ada stiker Radio Australia dan stiker IMM Fakultas Kedokteran Unhas tertempel di samping pintu. Tanda lainnya adalah karena menyala lampu ruang tamu, kelihatan dari jendela kacanya.
Setelah memberi salam, disahut, lalu saya dipersilahkan masuk oleh sang tuan rumah. Tampaknya pihak tuan rumah sudah sangat siap untuk menerima kedatangan saya. Ini terlihat dari kue-kue yang dihidangkan masih panas. Artinya bahwa kue-kue itu baru saja dibuat. Membikin kue dini hari adalah satu pekerjaan yang tidak mudah dilakukan kecuali ada maksud terbaik.
Menikah dalam Masjid
Tak lama kemudian, suara mengaji dari masjid terdengar. Menyusul suara adzan. Saya belum sempat istirahat pada kamar yang disediakan oleh sang bapak (yang kemudian menjadi calon mertuaku), saya diajak ke masjid untuk shalat subuh.
Saat itu, kondisi masjid masih sederhana. Seharian berada di Somba waktu itu, saya tiga kali ke masjid ini. Subuh, dhuhur dan magrib. Sesaat sebelum Isya, saya sudah naik bus Piposs untuk kembali ke Makassar.
Dua bulan kemudian saya kembali ke Somba bersama dengan keluarga besar. Lengkap dengan kedua ibu-bapak saya. Juga bou dari Singapura, wak dari Sipirok dan famili dari Jakarta. Demikian pula rombongan pengurus Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan pengurus perkumpulan orang Batak “Dalihan Na Tolu” Makassar dan sekitarnya.
Kurang sedikit pukul 10.00 wita, saya sudah berada di pintu masjid dengan dikawal dua orang kiyai besar, K.H. Djamaluddin Amien dan K.H. Nasruddin Razak. Persis di depan pintu mesjid, Pak Kiyai menyuruh saya menghentikan langkahku.
“Mana bapaknya”, tanya pak Kiyai kepada para penjemput tamu yang membuat pagar betis. Lalu sang bapak datang mendekat.
“Ini calon pengantin laki-lakinya” kata pak Kiyai kepada sang bapak seraya melihat ke saya.
“Silahkan masuk” kata sang bapak. Kami pun kembali berjalan melangkahkan kaki menuju depan mihrab.
Saya perhatikan sudah banyak orang yang hadir dalam masjid. Bahkan ada yang menyaksikan lewat jendela dan di pintu keluar.
Lewat pukul sepuluh sedikit, prosesi pernikahan dimulai. Saya dinikahkan oleh Bapak H. Abd. Kadir dengan putri keduanya. Suasana berlangsung hikmah dan sederhana. Tampak diantara yang hadir mendampingi saya waktu itu selain kedua kiyai tersebut, adalah Pak Ashabul Kahfi (sekarang wakil ketua DPRD Sulsel), H.M. Yusuf Tuali, mantan wakil Bupati Polman, K.H. Husain Unding, Lc (alm), ibu drg. Hartini Bihamding (istri Kadis Kesehatan Polmas waktu itu, dr. H. Ahmad Azis, M.Kes)Â dan teman-teman saya Angkatan Muda Muhammadiyah Sulsel yang waktu itu dikomandoi oleh Ustadz Amiruddin Bakri, S.Ag. Tidak ketinggalan Camat Sendana waktu itu, Muh. Asri Albar, S.E., yang juga pernah sebagai pengurus remaja masjid, turut menyaksikan pernikahan ini.
Pengurangan Uang Panaik
Pernikahan yang sangat sederhana akan tetapi sangat bermakna kepada diri saya dan calon istri saya saat itu. Saya senang bisa melangsungkan pernikahan dalam masjid. Walaupun bukan atas permintaan saya, tetapi atas kehendak bapak mertuaku. Sebab bagi bapak mertuaku, pernikahan itu tidak mesti bermewah-mewahan. Cukup sederhana.
“Yang penting sesuai dengan syariat Islam”, katanya. Bahwa orang lain akan menilai lain, tentu akan ada. Tapi tidak perlu dipedulilan.
Kesederhanaan mertuaku dalam hal pernikahan jelas saya rasakan. Bayangkan saja, untuk urusan uang panaik (uang belanja) dan mahar, tak repot-repot. Yang melakukan negosiasi atau pembicaraan ini dan itu, adalah saya sendiri. Dari jumlah uang panaik dan mahar yang saya tawarkan, mereka anggap terlalu banyak. Justru uang panaik yang kubawa, dikurangi jumlahnya.
“Ini terlalu banyak. Cukup sebegini saja. Sisanya simpanlah untuk kalian nanti dan biaya penyelesaian sekolahmu” kata beliau saat itu.
Aneh juga ya, uang panaik kok dikurangi oleh pihak calon mempelai perempuan. Sesuatu yang langka, tapi nyata.
Islam aliran Muhammadiyah
Lama-kelamaan akhirnya saya tahu mengapa sifat bapak mertuaku bisa demikian. Ternyata beliau adalah seorang pengagum alm. Buya Hamka. Banyak buku-bukunya yang dibeli dan masih tersimpan di rumah. Juga majalah Panji Masyarakat yang diterbitkan Buya Hamka waktu itu.
Selain itu, bapak mertuaku juga penggemar berat buku-buka Islam populer, termasuk buku karangan Ziauddin Sardar dan Yusuf Al Qardawi. Juga buku Karen Amstrong.
Dalam usianya menjelang pensiun, akhir tahun 1990-an, bapak masih sempat menyelesaikan studinya di IAIN Alauddin Makassar kelas filial Majene di bawah asuhan mantan Rektor UIN, Prof. Dr. H. Abd. Qadir Gassing, HT, M.S., dan Dr. H. Baso Midong, M.A. Walaupun tidak memiliki ijazah, bapak sudah sempat diwisuda di kampus IAIN Jl. Sultan Alauddin dan mendapat gelar S.Ag.
Betul saja. Setelah pernikahan kami di masjid. Banyak selentingan beredar di masyarakat sekitar. Selain menikah di masjid, pesta pernikahan kami pun tanpa undangan tercetak, tanpa hiburan malam, bahkan tanpa pelaminan. Saya hanya menyalami tamu-tamu di depan pintu setelah mereka makan siang dan setelah itu mereka pamit.
Dengan demikian memang wajarlah jika ada pembicaraan aneh di sebagian masyarakat. Tak biasa mereka mendapat acara pernikahan yang demikian aneh dan sangat sederhana.
Mengapa bisa pernikahannya seperti itu? Mereka itu Islam aliran apa? Tanya sebagian masyarakat. Mereka itu Islam aliran Muhammadiyah, sahut yang lain.
Beberapa tahun kemudian, kakak ipar perempuan dan adik ipar perempuan juga menikah di masjid ini. Jadi sudah tiga kali masjid ini menjadi saksi sejarah, pernikahan anak perempuannya Pak Kadir.
Dan Alhamdulillah, pernikahan kami yang di masjid ini, membawa kami menjalani kehidupan rumah tangga yang Sakinah mawaddah wa rahmah. Insya Allah.
Somba Majene Sulawesi Barat 160618 ba’da Dhuhur
Wassalam
Haidir Fitra Siagian