“Hasilnya, TPF tidak menemukan alat bukti yang mencukupi dan meyakinkan bahwa saksi-saksi tersebut terlibat dalam tindak pidana, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan kekerasan terhadap korban Novel Baswedan pada 11 April 2017 di JI. Deposito Blok T No. 10, RT.03/10, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara,” kata Nur Kholis.
Reka ulang TKP, pengujian ulang, dan analisa CCTV termasuk hasil bantuan teknis AFP (Australian Federal Police), wawancara ulang terhadap saksi-saksi auditu dan de auditu, wawancara saksi-saksi tambahan, dan analisa IT terhadap pola, posisi, dan komunikasi para saksi juga dilakukan.
Namun, TPF lebih cenderung pada fakta lain bahwa pada 5 April 2017 ada satu orang tidak dikenal yang mendatangi rumah Novel. Pada 10 April 2017 ada dua orang yang tidak dikenal berada di dekat tempat wudhu Masjid AI-lhsan menjelang subuh.
“Keberadaan tiga orang tidak dikenal yang berbeda waktu tersebut diduga berhubungan dengan peristiwa penyiraman pada tanggal 11 April 2017 di Jl. Deposito Blok T No. 10, RT.03/10, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara,” sebut Nur Kholis.
Selain itu, TPF melakukan evaluasi dan pendalaman terhadap zat kimia yang digunakan untuk menyiram wajah korban dengan melakukan analisa dan wawancara tambahan terhadap Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri, pendalaman hasil Visum Et Repertum (VER) Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, saksi ahli kimia dari Universitas Indonesia, dan saksi dokter spesialis mata.
“Didapat fakta bahwa zat kimia yang digunakan pada peristiwa penyiraman ke wajah korban adalah Asam Sulfat (H2804) berkadar larut tidak pekat. Zat tersebut tidak mengakibatkan luka berat permanen pada wajah korban,” ucap Nur Kholis.
Ia menjabarkan, baju gamis yang dikenakan Novel juga tidak mengalami kerusakan dan penyiraman tersebut tidak mengakibatkan kematian.
TPF meyakini serangan terhadap wajah korban bukan dimaksudkan untuk membunuh tetapi membuat korban menderita.
“Serangan bisa dimaksudkan untuk membalas sakit hati atau memberi pelajaran terhadap korban, dan serangan tersebut bisa dilakukan atas dasar kemampuan sendiri dan atau dengan menyuruh orang lain,” tutur Nur Kholis.
TPF, lanjutnya, menemukan fakta bahwa terdapat probabilitas dari kasus yang ditangani oleh korban yang berpotensi menimbulkan serangan balik atau balas dendam akibat adanya dugaan penggunaan kewenangan secara berlebihan (excessive use of power).
TPF juga meyakini bahwa serangan tersebut tidak terkait dengan masalah pribadi, tapi lebih diyakini berhubungan dengan pekerjaan korban. (rilis Polri)
Editor: Ilma Amelia