Bahkan kendati saat ini sudah tersedia instalasi PDAM, warga masih tetap “tergantung” pada Wai Sau.
Wai Sauq berasal dari bahasa suku Mandar yang berarti air ( yang )
ditimba. Wai artinya Air, Sauq berarti Menimba.
Disebut Wai Sauq karena diambil dengan cara menggali lobang – lobang kecil di tepi sungai, setelah air dalam lobang kecil itu dinilai sudah bersih
dan tidak lagi keruh, air kemudian ditimba , dimasukkan dalam jeriken yang umumnya berukuran kecil.
Praktek pengambilan wai sauq berlangsung di sejumlah sungai di Polewali Mandar, salah satunya yang paling ramai adalah di sepanjang sungai Mandar, Kecamatan Tinambung.
Saat musim kemarau, ketika sejumlah desa kekurangan air bersih, Wai Sauq menjadi tumpuan warga, bukan hanya di kawasan kecamatan Tinambung dan sekitarnya di Polewali Mandar, Wai Sauq bahkan diminati warga di kabupaten Majene.
Di musim pancaroba seperti sekarang, wai sauq pun tetap dibutuhkan,
sebagian warga konsumen beralasan selain karena sudah menjadi kebiasaan lama mengonsumsi air tepian sungai, Wai Sauq juga dianggap lebih segar.
“ Memang sudah lama Wai Sauq jadi andalan warga, macam – macam alasannya ada yang karena lebih sreg dibanding air ledeng, ada juga yang merasa lebih segar karena bebas campuran kimia penjernih” kata Ridwan Alimuddin, peniliti kebudayaan Mandar, Minggu ( 24/03).
Hingga saat ini belum ada penelitian ilmiah terkait kualitas air wai sauq, tapi apapun itu warga masih sangat meminati Wai Sauq untuk kebutuhan
sehari – hari. Harga Wai Sauq pun tidak terlalu mahal, rata – rata dijual Rp 500 per jeriken diterima ditempat artinya dengan Rp 500 warga sudah diantarkan satu jeriken air sungai Mandar yang segar.
Dahulu saat warga belum terlalu disibukkan dengan berbagia aktivitas, rata– rata warga yang membutuhkan Wai Sauq, datang sendiri ke tepi sungai untuk menggali lobang dan mengambil air bersih.
Namun seiring perkembangan zaman, ketika aktitivas warga makin padat, pengambilan Wai Sauq tidak lagi dilakukan orang per orang namun dilakukan orang tertentu.
Para pengambil Wai Sauq ini kemudian dikenal dengan sebutan Passauq Wai (penimba air,- ).
Sebagian besar passauq wai menjadikan pekerjaan ini sebagai profesi utama. Passauq Wai ini umumnya adalah perempuan dewasa, mereka mulai bekerja ke tempat penggalian lobang di tepi sungai ketika masih dinihari, paling lambat pukul 03:00 wita.
Disaat sebagian warga masih terlelap, para passauq wai sudah datang ke
tepi sungai yang dianggap cocok dan pas menggali lobang. Para passauq wai datang subih hari karena saat itu air belum pasang sehingga masih sangat leluasa menggali lobang dan mudah menjernihkan air.
Umumnya lokasi penggalian lobang itu tidak terlalu dekat dengan pemukiman, akibatnya untuk menjangkau lokasi penggalian lobang, para passauq wai datang dengan menggunakan sampan, sebagian diantar suami, sebagian lainnya datang sendiri menarik jeriken.
Saat musim pancaroba seperti sekarang pengggalian lobang dilakukan tiap hari, pasalnya ketika para passauq wai pulang membawa jeriken yang sudah berisi air sekitar pukul 06:00 wita, beberapa saat kemudian, air pasang dan lobang yang dibuat subuh hari tertimbun.
Fenomena Wai Sauq menggambarkan kreatifitas warga yang tanpa keterlibatan negara didalamnya dapat memenuhi kebutuhan air bersih. ( Farhan Ali Afsar )