Banyak fakta terkait kasus ini. Beberapa jurnalis yang bekerja untuk media mainstream pernah dituduh menerima uang dari pihak-pihak tertentu untuk menulis artikel atau berita yang mendukung kampanye politik atau agenda tertentu. Ini terungkap dalam beberapa kasus di mana jurnalis kemudian dipecat setelah adanya laporan dugaan envelope journalism (jurnalis amplop).
Tujuh, Pembungkaman Kritik dan Suara Alternatif.
Media yang dikendalikan oleh kepentingan politik tertentu cenderung membungkam kritik terhadap pemerintah atau pihak yang didukung oleh pemilik media tersebut. Suara alternatif yang kritis terhadap pemerintah atau narasi dominan diabaikan atau ditekan.
Banyak fakta menunjukkan, Media yang dimiliki oleh pengusaha atau politisi cenderung menghindari atau meminimalkan kritik terhadap pemerintah atau aktor politik yang mereka dukung. Misalnya, dalam kasus pelanggaran HAM Papua, beberapa media mainstream sangat minim meliput protes-protes atau kritik dari aktivis HAM, meskipun isu ini sangat besar di tingkat internasional.
Delapan, Pemberitaan Berpihak (Bias News Coverage)
Pemilik media yang memiliki afiliasi politik tertentu sering kali mengarahkan berita untuk berpihak pada partai politik, kandidat, atau kebijakan tertentu. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka menyajikan berita secara tidak seimbang—misalnya, hanya menonjolkan prestasi atau narasi positif dari aktor politik tertentu sambil meremehkan atau tidak meliput lawan politiknya.
Banyak fakta telanjang terkait situasi ini, Salah satu kasus nyata adalah menjelang Pemilu 2019 ketika beberapa media besar secara terang-terangan menyajikan pemberitaan yang sangat berpihak kepada salah satu pasangan calon presiden. Misalnya, Metro TV yang sering dikritik karena dianggap pro terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf. Di sisi lain, TVOne dianggap condong mendukung Prabowo-Sandiaga. Keduanya menunjukkan pemberitaan yang berbeda dalam meliput kampanye, debat, dan kebijakan kedua kandidat tersebut. Sembilan …..