Tujuhbelas. Penyalahgunaan Survey dan Data Polling
Pemilik media kadang bekerja sama dengan lembaga survei untuk mengeluarkan hasil polling yang berpihak. Data survei ini dipublikasikan secara luas di media sebagai alat untuk membentuk persepsi publik bahwa kandidat atau partai tertentu lebih unggul atau lebih populer dari yang sebenarnya. Manipulasi survei semacam ini kerap digunakan untuk meningkatkan citra atau elektabilitas tokoh politik tertentu.
Faktanya, Selama Pemilu, beberapa lembaga survei yang bekerja sama dengan media besar sering kali mengeluarkan hasil survei yang kontroversial dan dipertanyakan independensinya. Salah satunya adalah lembaga survei yang dimiliki oleh figur yang juga terafiliasi dengan media besar, menciptakan keraguan terhadap keabsahan data polling tersebut.
Delapanbelas. Narasi Kambing Hitam (Scapegoating)
Media dapat menciptakan narasi yang menyalahkan kelompok tertentu (minoritas, oposisi politik, atau aktor asing) sebagai biang keladi dari masalah yang terjadi di negara tersebut.
Narasi ini bisa menjadi alat untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan pemerintah atau elite politik yang didukung oleh pemilik media. Dengan menciptakan “kambing hitam”, media bisa memanipulasi sentimen publik untuk menguntungkan agenda politik tertentu.
Faktanya, Pada masa Pilpres, isu anti-Tiongkok sering dijadikan narasi kambing hitam untuk menyalahkan kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap pro asing. Beberapa media yang mendukung oposisi kerap memframing ini untuk menimbulkan ketakutan di masyarakat terhadap investasi asing dari China.
Sembilanbelas. Eksploitasi Emosi Publik. Media juga bisa memanipulasi pemberitaan dengan cara memanfaatkan isu-isu sensitif yang memicu emosi publik, seperti isu agama, ras, dan identitas. Liputan yang sengaja didramatisasi dapat meningkatkan polarisasi di masyarakat dan memicu dukungan bagi kelompok politik tertentu. Dalam situasi ini, media dapat memanfaatkan emosi seperti ketakutan, kemarahan, atau kebanggaan untuk memobilisasi dukungan politik.
Faktanya, beberapa media sering mengeksploitasi isu agama dan ras untuk memobilisasi dukungan politik. Misalnya, selama Pilkada DKI Jakarta 2017, isu agama dimainkan secara besar-besaran oleh media tertentu yang berpihak kepada lawan politik Ahok untuk menggalang sentimen anti Ahok.
Duapuluh. Menggunakan Publik Figur untuk Mendukung Agenda Politik
Pemilik media sering kali mengundang figur-figur publik atau selebriti untuk menyuarakan dukungan terhadap tokoh politik atau kebijakan yang mereka dukung. Liputan terhadap pernyataan atau tindakan figur publik ini di-setting sedemikian rupa untuk memengaruhi opini publik, seolah-olah dukungan tersebut merupakan representasi dari suara mayoritas.
Faktanya, Selama masa kampanye politik, media sering menampilkan selebriti atau tokoh publik yang mendukung calon tertentu, seolah-olah representasi ini menunjukkan dukungan masyarakat umum. Ini terjadi pada Pilpres 2019, ketika banyak selebriti tampil di media untuk mendukung salah satu calon. Dua ouluh satu…..