
Murid SLB Negeri Pamboang sesekali di antar – jemput menggunakan mobil sewa
Apa yang terlintas dalam pikiran anda jika mendengar tentang anak berkebutuhan khusus (ABK) ? Lalu bagaimana dengan ABK dalam menempuh pendidikan ?
ABK adalah anak-anak yang memiliki karakteristik atau kebutuhan yang berbeda dari anak pada umumnya. Anak-anak ini bisa memiliki keterbatasan dalam aspek fisik, mental, emosi, atau sosial, sehingga memerlukan bantuan dan dukungan khusus untuk berkembang secara optimal.
Keterbatasan fisik, misalnya tunanetra (gangguan penglihatan), tunarungu (gangguan pendengaran), atau tunadaksa (gangguan fisik).
Keterbatasan mental, misalnya tunagrahita (keterbelakangan mental) atau kesulitan belajar.
Keterbatasan emosi, tunalaras atau gangguan perilaku atau gangguan emosi. Keterbatasan sosial, misalnya, kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial. Autisme juga termasuk ABK.
Karakteristik ABK berbeda dengan anak pada umumnya. ABK memerlukan layanan pendidikan yang spesifik dan berbeda. ABK memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan. ABK memerlukan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Istilah “anak berkebutuhan khusus” digunakan untuk merujuk pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
ABK memiliki potensi untuk berkembang dan berkarya, sebagaimana anak pada umumnya, dengan dukungan yang tepat. Penting untuk memberikan dukungan dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Nah, bagaimana dengan ABK dalam dunia pendidikan ? Sepertinya dukungan pemerintah masih perlu ditingkatkan.
Di Sulawesi Barat sudah ada SLB (Sekolah Luar Biasa) khusus untuk ABK, baik negeri maupun swasta. Jumlahnya sekitar 13 SLB Negeri. Ada 4 di antaranya berada di Kabupaten Majene.
Tapi ABK tidak hanya butuh sekolah. Mereka butuh prasarana pendukung. Terutama ABK yang tinggal di pedesaan. Untuk menjangkau sekolah, mereka kepayahan. Sehingga banyak yang sering bolos bahkan putus sekolah.
Seperti yang dialami murid ABK SLB Negeri di Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Banyak kendala mereka hadapi. Tapi yang paling mendesak adalah masalah transportasi. Sesekali SLB ini menyewa mobil untuk mengangkut muridnya. Tapi itu tidak bisa terus menerus dilakukan karena keterbatasan anggaran.
Menurut tenaga pendidik di SLB Pamboang, Muhammad Ridwan Tahir, banyak orang tua ABK tidak mampu mengantar dan menjemput anak mereka ke sekolah setiap hari.
“Hal ini bukan karena kurangnya perhatian, melainkan karena tuntutan ekonomi yang mengharuskan mereka bekerja dari pagi hingga sore hari, serta kondisi geografis yang cukup jauh dari lokasi sekolah. Tidak bekerja hari itu berarti tidak makan hari itu,” ungkap Muhammad Ridwan.
Akibatnya, banyak ABK tidak bisa hadir secara konsisten, bahkan ada yang akhirnya berhenti sekolah karena tidak ada yang mengantar.
Hal ini tentu saja memprihatinkan karena mereka kehilangan hak dasarnya untuk memeroleh pendidikan yang layak dan merasa semakin tertinggal dari teman sebaya, malu untuk bersosialisasi, dan terasing di lingkungan sendiri.
Menurut Muhammad Ridwan, sudah saatnya diperjuangkan tersedianya kendaraan antar-jemput khusus untuk murid ABK di SLB.
“Kendaraan ini bukan sekadar alat transportasi, tetapi menjadi bentuk nyata kepedulian dan jembatan harapan agar anak-anak ini bisa hadir ke sekolah secara rutin, semangat belajarnya meningkat, dan mereka merasa benar-benar diterima sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,” sebut Muhammad Ridwan.
Perlu dipahami, lanjut dia, pengadaan dan operasional kendaraan ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Meskipun dana BOS sangat membantu dalam mendukung kelangsungan kegiatan pendidikan di sekolah tapi penggunaannya memiliki batasan dan prioritas yang harus dijaga.
“Jika dana BOS digunakan setiap harinya untuk kebutuhan transportasi murid, maka akan sangat berimbas pada kegiatan-kegiatan penting lainnya di sekolah, seperti pengadaan alat bantu pembelajaran, pengembangan guru, penyediaan bahan ajar, serta pemeliharaan fasilitas sekolah,” kata Muhammad Ridwan.
BOS dirancang untuk mencukupi kebutuhan umum operasional sekolah, bukan untuk pembiayaan rutin seperti transportasi harian yang memerlukan biaya tetap dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, solusi yang lebih ideal adalah melalui dukungan khusus dari pemerintah daerah maupun pusat melalui program-program tambahan yang diarahkan khusus untuk mendukung pendidikan anak berkebutuhan khusus, seperti bantuan transportasi untuk murid ABK.
Jika pendidikan inklusif benar-benar menjadi cita-cita bersama, maka pengadaan kendaraan antar-jemput bagi siswa ABK bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar. Tidak harus mobil mewah bahkan sekelas angkot pun kami sangat mengapresiasi jika memang itu mampu untuk direalisasikan,” tambah Muhammad Ridwan.
Ia juga mengatakan bahwa sudah saatnya kita semua bekerja sama untuk menghapus hambatan-hambatan akses ini demi masa depan yang lebih adil dan setara bagi semua anak bangsa.
“Ini bukan kritikan melainkan saran atau masukan yang mungkin perlu untuk dijadikan sabagai landasan ataupun alasan bagi para pemangku kepentingan di tingkat atas dalam merumuskan suatu program pendidikan yang lebih tepat guna dan tepat sasaran,” tutup Muhammad Ridwan. (Jufri)