Komisi III DPRD Kabupaten Majene bersama dinas sosial, bagian kesra, camat dan sejumlah kepala desa di Majene mendatangi dua kementerian di Jakarta. Dua kementerian tersebut diantaranya, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI).
Ketua Komisi III, Adi Ahsan menilai pemerintah tidak pusat tidak siap menjalankan program jaminan kesehatan gratis terhadap masyarakat. Dalam hal ini Kartu Badan Penjamin Jaminan Sosial (BPJS) Penerima Bantuan Iuran (PBI) pusat atau Kartu Indonesia Sehat (KIS).
"Pemerintah pusat tidak siap jalankan ini program dan melakukan pembiaran penguapan anggaran," kata Adi Ahsan, Rabu (1/6/2016).
Penilaian Adi Ahsan ini bukan tanpa alasan. Contohnya di Majene, kurang lebih 64 ribu penerima KIS kemudian mendapatkan kuota tambahan 5 ribu penerima pada tahun 2016. Tapi menurut Adi Ahsan, data dari BPJS hanya 60 ribu yang diedarkan ke masyarakat yang dilakukan oleh BPJS dan Kantor Pos.
"Berarti ada 4 ribu penerima yang masuk dalam daftar tapi tidak punya kartu padahal itu semua anggarannya sudah dibayarkan Kemenkes ke BPJS. Biasa ada juga warga yang masuk RSUD kemudian masuk pasien umum padahal setelah dicek di BPJS ternyata masuk dalam daftar. Jangan sampai ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dengan menklaim dananya di BPJS," katanya.
Pokok permasalahan dari KIS adalah data yang dipakai sebagai acuan adalah data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang bermasalah. Adi Ahsan menuding, Kemenkes membayar ‘angin’ ke BPJS karena dalam data tersebut sudah banyak yang tidak layak untuk menerima. Seperti orang yang sudah meninggal, warga yang pindah domisili, warga yang kondisi ekonominya sudah baik atau pun warga yang jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Kalau begini modelnya, ada jutaan yang tidak jelas di Indonesia. Anggaran menguap di Kemenkes karena kapitasi-kapitasinya di Puskesmas itu semuanya terdaftar dan dibayarkan per bulan ke BPJS berdasarkan jumlah peserta," ungkapnya.
Tahun 2016, Kabupaten Majene mendapatkan tambahan kuota penerima KIS. Itu pun masih mengacu pada data PPLS 2011. Tidak mengacu data dari hasil validasi Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang dilakukan selama ini.
"Sebenarnya data validasi dari TKSK sudah masuk di Kemensos tapi belum digunakan karena menurut Kemensos saat kami pertanyakan masih akan menunggu validasi yang dilakukan seluruh daerah di Indonesia. Kapan selesainya? Pasti makan waktu bertahun-tahun," kesal politisi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Adi Ahsan menyesalkan TKSK dan dinas sosial lantaran tidak menyampaikan sebelumnya. TKSK sebatas melakukan validasi dengan menyampaikan validasi bisa dilakukan setiap saat, setiap enam bulan sekali tanpa menyampaikan bahwa data hasil validasi itu tidak langsung ditetapkan oleh Kemensos.
Menurutnya, ini akan menimbulkan keresahan publik dan kecemasan yang meluas karena informasi yang tidak jelas. Jangan sampai masyarakat mengira namanya akan masuk dalam daftar penerima setelah dilakukan validasi oleh TKSK.
"Seharusnya juga TKSK memberikan arsip yang dikirim Kemensos ke desa atau kelurahan bersangkutan. Supaya masyarakat juga tahu, kan kalau ada datang KIS bisa langsung dicek, siapa saja yang masuk dalam data validasi tapi kartunya tidak datang, begitu pun sebaliknya. Kalau bermasalah kan desa yang langsung kena sasaran warga," katanya.
Terkait carut-marut masalah KIS tersebut, Komisi III DPRD Majene akan menyampaikan ke DPR-RI. Pihak DPRD akan menyampaikan masalah yang terjadi di Majene dan meminta untuk dilakukan pengawasan lebih ke Kemensos, Kemenkes dan BPJS.
"Kemungkinan setelah lebaran kami kesana (DPR-RI). Kami sementara menyusun fakta-fakta yang kami temukan," kata Adi Ahsan. (Irwan)