
Pelepasan tukik di Pantai Mampie.
Polman, mandarnews.com – Jumat 25 Juni 2021, kurang lima menit menuju pukul 10.00 Waktu Indonesia Tengah, rombongan kami berangkat menuju lokasi rapat kerja (raker) Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Mandar yang berada di Pantai Mampie Desa Galeso, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.
Mampie berjarak kurang lebih 187 kilometer dari titik keberangkatan kami di Kota Mamuju, waktu tempuh pun cukup lama ketimbang biasanya, itu karena perjalanan kami cukup santai sembari menikmati perjalanan pinggir pantai khas jalan trans Sulawesi.
Pemandangan yang indah menyapa perjalanan kami menuju lokasi dengan diapit oleh hamparan empang yang luas. Saat itu, hujan menyapa perjalanan kami. Meski begitu, hujan menjadikan pemandangan di hamparan empang cukup sejuk dilalui, sesekali kami mengambil gambar dan melihat burung-burung terbang di atasnya.
Sesampai di lokasi, kami langsung disambut oleh Yusri, pemilik sekaligus orang yang mendedikasikan dirinya di tempat konservasi penyu yang berada di Mampie.
Terlihat bangunan segitiga berlantai dua yang didirikan sejak 2017 yang menjadi ciri khas Rumah Penyu di Mampie.
“Kalau bangunan baru berdiri 2017, tapi aktivitas kami jauh sebelumnya sudah dilakukan,” kata Yusri.
Perbincangan semakin menarik, terlebih Rumah Penyu ini tepat di bibir pantai. Suara ombak pun terdengar jelas di telinga.
Malam itu, rombongan kami dan Yusri berbincang tentang konservasi. Yusri menyebut jika aktivitas yang digelutinya itu bermula saat ia mengkhawatirkan keberadaan penyu yang menjadi buruan warga.
“Dulu banyak warga yang mencari telur dan cangkang penyu untuk dijual,” tutur Yusri.
Bermula dari kecintaannya terhadap penyu yang banyak bertelur di sekitar wilayah Pantai Mampie itu, Yusri mulai mengajak warga sekitar untuk menjaga dan melindungi penyu dari gangguan. Ia akhirnya mendirikan Sahabat Penyu yang menjadi wadah untuk Yusri dan warga.
Usaha itu mengundang banyak simpati dari para pecinta lingkungan. Dengan cepat Rumah Penyu menjadi perhatian hingga sampai ke telinga pemerintah.
“Dengan dorongan dari warga, rekan-rekan jurnalis, dan kami manfaatkan media sosial, Rumah Penyu dengan cepat menyebar,” ujar Yusri.
Dalam perjalanannya, Rumah Penyu menjadi salah satu tujuan kunjungan observasi penangkaran penyu yang didatangi dari berbagai latar organisasi dan pekerjaan.
Dari hasil kunjungan itu, Rumah Penyu berhasil mengumpulkan donasi yang kemudian dipakai untuk pemberdayaan masyarakat sekitar.
Menurut Yusri, hal itu berdampak besar bagi masyarakat sekitar sehingga semakin menyadarkan masyarakat untuk menjadi bagian dari pelestarian penyu.
“Kalau ada pengunjung, kita serahkan ke warga untuk makannya. Biar dibuat di rumah mereka baru diantarkan,” kata Yusri.
Untuk sekali kunjungan, Rumah Penyu biasanya mematok tarif Rp700 ribu bagi kelompok yang datang.
“Pengunjung biasa datang dari berbagai instansi pemerintah, pecinta lingkungan, pecinta alam, kampus, dan peneliti yang ingin mempelajari langsung tentang penyu,” ucap Yusri.
Kendati sedang pandemi, Yusri mengaku tak berdampak signifikan pada kunjungan di Rumah Penyu. Selain menerapkan protokol kesehatan (prokes), sejak pertama dibuka pengunjung memang dibatasi.
“Pengunjung memang kita batasi, per kelompok terdiri maksimal 70 orang. Kalau misalnya ada kelompok yang bersamaan ingin berkunjung maka antri, kita memang tidak ingin menumpuk pengunjung agar kunjungannya mereka maksimal,” tutur Yusri.
Selama masa pandemi Covid-19 berlangsung, Rumah Penyu mempunyai peran besar terhadap warga sekitar, terutama pada pemberdayaan masyarakat.
Yusri menjelaskan jika di Rumah Penyu tak menyiapkan fasilitas komsumsi, sehingga nanti jika ada pengunjung yang membutuhkan bisa dipesan langsung dari masyarakat.
“Alhamdulliah selama pandemi, Rumah Penyu banyak andil untuk masyarakat sekitar, mulai dari menyiapkan konsumsi bagi pengunjung hingga menjaga sarang telur penyu itu,” beber Yusri.
Selain itu, warga juga diberi tanggung jawab menjaga sarang telur penyu. Tiap sarang telur penyu dihargai Rp300 ribu. Nantinya, hasil itu akan dibagi tiga, yaitu kepada warga, kas Rumah Penyu, dan sebagian lainnya disimpan untuk merehab rumah warga yang masih membutuhkan.
“Untuk kegiatan sosial sendiri kami rapatkan, dipergunakan apa. Pernah kami melakukan rehab rumah bagi masyarakat yang kurang mampu,” tukas Yusri.
Ia menyampaikan, setiap sarang telur penyu bisa berisikan hingga ratusan telur dan ditetaskan menjadi ratusan tukik (anak penyu). Perkembangbiakannya sendiri sangat lamban, tukik yang lahir memiliki jangka waktu kurang lebih 30 tahun agar bisa bertelur.
Sementara peluang hidup dari tukik yang sudah dilepas, dijelaskan Yusri bisa 1 banding 1000 yang disebabkan banyaknya ancaman yang dilalui, seperti dimangsa hewan yang lebih besar di lautan bebas.
“Kalau peluang hidup sangat kecil, bisa 1 banding 1000 untuk setiap tukik, itu karena banyak ancaman dari pemangsanya, ada hiu dan sejenisnya di lautan,” ungkap Yusri.
Dalam perjalanannya, Yusri telah banyak mendapatkan aprisiasi hingga telah menerima penghargaan dari tiga kementerian berbeda, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pemuda dan Olaraga, dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Pemuda 30 tahun seperti Yusri dapat menjadi inspirasi bagi anak muda Indonesia. Keteguhannya membuahkan hasil tak hanya bagi dirinya, tetapi juga bermanfaat untuk masyarakat di sekitar Mampie.
Rumah Penyu terus bertahan, meski saat ini dunia sedang dalam pertarungan dengan virus Covid-19 yang menyebabkan banyak negara resesi ekonomi.
Dari Pantai Mampie dan Rumah Penyu, kita bisa banyak belajar.
Reporter: Sugiarto
Editor: Ilma Amelia