
RDP di Kantor DPRD Sulbar terkait rencana pembangunan PLTA Karama.
Mamuju, mandarnews.com – Cagar budaya Situs Minanga Sipakko dan Situ Kamassi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Karama, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju menjadi pembahasan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) pada Senin (14/2).
Hal itu dikarenakan di DAS Karama direncanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 190 megawatt, yang rencananya akan dikerjakan oleh PT. DND Hydro Ecopower.
Dalam RDP yang dipimpin oleh Sukri Umar itu, Adam Jauri dari Aliansi Gerakan Mahasiswa Tolak PLTA Karama menyebut, pembangunan bendungan akan mengancam situs neolitik itu, termasuk sembilan situs lainnya.
“Di sepanjang Sungai Karama ada 13 situs penting yang terancam tenggelam jika ini dilanjutkan, termasuk dua situs neolitik dan situs kuburan tua di Desa Talondok,” kata Adam.
Alasan lainnya, debit air dapat menyebabkan bencana alam dikarenakan seputar DAS Karama rentan erosi. Hal ini menurut Adam dapat menjadi bom waktu, telebih potensi tersebut didukung dengan letak geografis Sulbar yang berada pada cincin api.
“Ini bisa menjadi bom waktu yang kita buat sendiri, berapa wilayah yang berpenduduk akan terdampak jika terjadi hal itu,” ujar Adam.
Baca juga : Ancam Tanah Tua Leluhur, Aliansi Mahasiswa Deklarasikan Penolakan PLTA Karama
Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Mamuju Clara Surya yang juga hadir dalam RDP itu menuturkan, sejak penemuan situs neolitik Bukit Kamassi oleh A.A. Cense pada tahun 1933 dan menyusul penemuan situs Minanga Sipakko oleh H.R. van Heekeren tahun 1949, Kalumpang menjadi sangat terkenal dan masygur di kalangan arkeolog hingga saat ini.
Bahkan, pada tahun 1951, situs Kalumpang dibahas dalam kongres Prasejarah Asia Timur di Manila.
“Sejak saat itu, Kalumpang telah dikenal secara internasional karena hadirnya situs Minanga Sipakko. Setelah itu, sejumlah peneliti luar dan dalam negeri berdatangan, termasuk peneliti UI dan UGM,” ungkap Clara.
Situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat, situs Bukit Kamassi dan situs Minanga Sipakko menampilkan karakter khas situs neolitik murni yang memperlihatkan corak situs pertanian awal.
Temuan tersebut dianggap memberikan garis tegas perkembangnan kebudayaan dari budaya yang bertahan selama puluhan ribu tahun sebelumnya.
Pemangku budayanya diyakini dibawa oleh penutur Austronesia, nenek moyang orang Indonesia saat ini. Komunitas dengan penggunaan teknologi peralatan yang inovatif, kehidupan yang lebih kompleks, komunitas yang selaras dengan alam dengan bertani, dan terkoneksi dengan komunitas luar.
Dengan sejarah yang tak ternilai itu, Clara berharap, upaya dari berbagai pihak untuk menjaga dan melestarikan Situs tersebut.
“Begitu berharganya ada banyak peneliti dari luar negeri datang meneliti, ini juga merupakan situs tertua kedua di Indonesia. Maka dari itu kami harapkan ada jalan lain, satu hal yang pasti, kami tidak menerima PLTA jika situs ini hilang,” sebut Clara.
Berdasarkan keterangan dari Dinas Lingkungan Hidup Sulbar, saat ini pemberian rekomendasi belum diberikan dengan alasan sejumlah dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari pihak perusahaan masih dalam perbaikan.
Sementara PT. DND Hydro Ecopower tidak hadir dalam rapat tersebut, meski telah diundang.
Dalam RDP yang berlangsung kurang lebih tiga jam itu, disepakati tiga poin yakni, DPRD Sulbar akan turun ke lapangan sebelum adanya rapat lanjutan, pembahasan selanjutnya akan menghadirkan pihak perusahaan (PT. DND Hydrop Ecopower), dan DPRD Sulbar meminta tidak ada proses rekomendasi izin AMDAL sebelum rapat selanjutnya terlaksana.
Reporter: Sugiarto
Editor: Ilma Amelia