
Ilustrasi Siswa SMA sedang belajar. (Net).
Majene, mandarnews.com – Fenomena tentang siswa pindah sekolah untuk naik kelas rupanya telah lama berlangsung dan menjadi konsumsi publik. Namun, beberapa minggu terakhir, khususnya di Kabupaten Majene ramai kembali perbincangan terkait hal itu.
Banyak yang bertanya-tanya tentang esensi atau korelasi hal seperti itu. Bahkan ada juga pernyataan bukan kah itu akan justru menjadi gejolak atau kecemburuan bagi siswa lainnya yang tidak bisa mendapatkan hak yang sama.
Kepala Bidang SMA, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat, Drs. Muhammad Faezal, M. Si dikonfirmasi menjelaskan bahwa hal seperti itu sejak dari dulu hingga sekarang sering terjadi.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh sekolah adalah untuk menjalankan peraturan akademik yang dibuat oleh sekolah itu sendiri.
“Pada dasarnya peraturan akademiknya disusun sekolah yang bersangkutan oleh semua pendidik dan stakeholder yang ada, lalu kemudian dijalankan dengan prinsip sosial, bukan hukum,” jelas Faezal, dikonfirmasi, Selasa (6/9/22).
Faezal mengatakan, itu bertujuan bagaimana agar peserta didik ini bisa termotivasi, semangat untuk bisa terus menjalani proses kehidupan sebagai siswa tetap semangat. Karena biasanya ada anak yang tinggal sekolah langsung merasa malas belajar, terasa terhukum.
Lanjutnya, ini sangat bertentangan dengan prinsip pelayanan pendidikan itu sendiri. Artinya, anak-anak itu tentu dikelola, diberi binaan, karena pada dasarnya mungkin ada anak yang cepat sadar, cepat berhasil dan ada juga tidak.
“Sehingga prinsipnya mungkin saja ada jalan sosial bukan jalan hukum di mana jika dia pindah sekolah maka dia naik kelas. Itu untuk menjaga peraturan akademik sekolah bersangkutan. Karena kapan dia di sekolah yang bersangkutan tetap tentu sangat merusak tatanan sosialnya itu sendiri terjadilah kecemburuan, dan lain-lain yang ditakutkan dapat berdampak kepada peserta didik lainnya,” ungkap Kabid SMA tersebut.
Makanya lanjut masih Faezal, peraturan akademik itu disusun tentu berdasarkan prinsip itu. Sehingga dalam proses prakteknya memang bisa saja ada anak yang, karena peraturan akademik suatu sekolah menyebabkan dia harus tinggal kelas setelah melalui rapat sosial dengan semua pendidik dan stakeholder yang ada, dimana mungkin anak itu telah disepakati adalah mungkin yang terbaik adalah mundur setahun belajar. Dan tentu saja dalam pelaksanaannya akan kembali kepada yang bersangkutan atau masyarakat.
“Ini kebijakan sosial. Dan jika memang ada sekolah yang mau menerima dengan baik tentu dibuktikan bahwa sekolah siap menerima. Maka disitulah direvisi keputusan dari gurunya untuk memberi ruang kepada anak ini untuk pindah dengan harapan ke depan semangatnya tetap terjaga. Jadi itu adalah salah satu ikhtiar atau upaya sekolah . Kami sekolah menginginkan agar rencana berjalan dengan ideal,” tegas Faezal.
Meski demikian kata Faezal, tetap proses penentuan naik kelas sangat penting juga diperhatikan. Jadi ini tidak salah dilakukan. Tapi jika direncanakan seperti itu, itu yang tidak boleh.
“Artinya tetap disitu ada prinsip-prinsip pertimbangan di situ. Tidak semua bisa, misalkan dari SMA ke SMK apalagi kalau udah kelas 3 karena beda kurikulumnya itu pasti tidak bisa,” tukasnya.
“Ini memang gejala sosial yang sudah terjadi sejak dulu di masyarakat. Sehingga ini bagian dari bagaimana agar satuan pendidikan mampu membuat manajemen sekolah yang bertanggungjawab yang bisa membuat motivasi anak-anaknya untuk belajar giat,” tutup Faezal.
(Mutawakkir Saputra)