Suasana audiensi di ruang Wabup Mamasa.
Mamasa, mandarnews.com – Tindakan pengusiran dua jurnalis saat liputan seleksi calon kepala desa (cakades) di aula Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Mamasa, Kamis (4/11) lalu berujung aksi unjuk rasa puluhan jurnalis dan mahasiswa.
Puluhan jurnalis dan mahasiswa mendatangi Kantor Bupati Mamasa menyampaikan pernyataan sikap terhadap tindakan yang dialami dua jurnalis saat meliput.
Kedua jurnalis, yakni Semuel Mesakaraeng jurnalis tribun-sulbar.com dan Yoris jurnalis mandarnews.com mendapat perlakuan tak ubahnya seorang preman dari aparatur sipil negara (ASN).
Hanya karena alasan sterilisasi ruang tes seleksi, kedua jurnalis itu diusir dari ruangan. Satu di antaranya mendapatkan tindakan kekerasan, yakni Semuel Mesakaraeng.
Saat sedang mengambil gambar untuk kepentingan berita, Semuel didorong ke luar ruangan oleh dua pejabat eselon IV di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (PM-Pemdes) Mamasa hingga tangannya tergencet pintu.
Tak hanya mendapat perlakuan kasar, Semuel juga mendapat makian dan gertakan dari kedua ASN, yakni Harun dan Rudi.
Karena tindakan itu dianggap melanggar kebebasan pers sesuai Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999, puluhan jurnalis dan mahasiswa berunjuk rasa.
Dalam aksi unjuk rasa itu, jurnalis dan mahasiswa melakukan audiens bersama Wakil Bupati Mamasa Marthinus Tiranda, Kepala Dinas PMD-Pemdes Yahyaddin Karim, dan staf ahli Sekretariat Daerah (Setda) Mamasa.
Pada audiens itu terungkap fakta bahwa ternyata tes wawancara seleksi tambahan cakades terbuka untuk umum.
“Saya sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan bawahan saya dimana pada seleksi itu tidak ada larangan bagi siapapun yang ingin masuk ke dalam ruangan tersebut,” ucap Kepala Dinas PMD-Pemdes Yahyaddin Karim pada Rabu (10/11) saat audiens dalam ruang pertemuan kantor bupati itu.
“Saya sampaikan kenapa ada seperti ini, ini kan terbuka untuk umum, tetapi mereka bilang panitia umumkan tidak ada yang boleh dalam ruangan kecuali panitia karena sempit,” lanjut Yahyaddin.
Atas alasan sterilisasi ruangan, lanjutnya, kedua stafnya menyuruh kedua jurnalis ke luar dari ruangan.
Menanggapi itu, Kediliston Parangka selaku koordinator aksi mengatakan, apapun alasannya, kedua ASN itu melanggar UU kebebasan pers.
“Sekarang jadi tanda tanya, kalau terbuka untuk umum, kenapa jurnalis diusir? Ataukah ada permainan panitia di balik seleksi ini?” ujar Kediliston.
Kediliston beranggapan, jika statement Yahyaddin mengatakan dibuka untuk umum, berarti kedua stafnya murni melanggar undang-undang.
Bukan hanya itu, bahkan Kediliston menuding, pada seleksi itu ada dua kasus yang terjadi, yakni kasus pelarangan dan kasus terselubung permainan panitia.
“Kan tidak logis, kalau misalkan terbuka untuk umum tetapi jurnalis dilarang berada di dalam rungan. Berarti ada permainan di balik seleksi kemarin. Ini yang harus diusut juga,” tutup Kediliston.
(Yoris)
Editor: Ilma Amelia