
Tabur bunga di atas ID card, tandai matinya kebebasan pers di Sulbar.
Mamuju, mandarnews.com – Kekerasan verbal yang dialami oleh Samuel, jurnalis Tribunsulbar di Mamasa dari panitia seleksi calon kepala desa (cakades) dan dua kepala seksi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (PMD-Des) Mamasa saat melakukan liputan memicu respon unjuk rasa dari Aliansi Peduli Jurnalis Sulawesi Barat (Sulbar).
Aliansi Jurnalis Indenden (AJI) Kota Mandar bersama sejumlah organisasi mahasiswa melakukan unjuk rasa dan mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN) Mamasa.
Anhar, Ketua Asosiasi Media Siber (AMSI) Sulbar selaku koordinator aksi dalam orasinya mengatakan, tindakan kekerasan verbal terhadap jurnalis di Mamasa tersebut membuktikan lemahnya penerapan perlindungan kebebasan pers.
Pimpinan redaksi media Katinting itu meminta kekerasan terhadap jurnalis tidak terjadi lagi.
“Kekerasan yang dialami jurnalis memperlihatkan kurang pengetahuan terhadap fungsi dan peran media sebagai pilar penyampai informasi publik,” ujar Anhar.
Sebagai penyedia informasi untuk publik, kebebasan pers serta penyampaian pendapat di muka umum nyatanya telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 40 tahun 1999.
“Aksi ini adalah bentuk suara kami menolak segala bentuk kekerasan terhdap jurnalis. Dalam bekerja, jurnalis dilindungi undang-undang. Untuk itu kebebasan pers harus dipahami semua pihak sebagai pilar berdirinya negara demokrasi. Dengan ini kami meminta segala penindasan dan kekerasan terhadap pers tidak terjadi lagi,” tegas Anhar dalam orasi di simpang empat Ahmad Kirang, Mamuju, Rabu (10/11).
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers berbunyi bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghalangi (pers) sesuai pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Lemahnya penerapan undang-undang kebebasan pers itu membuat penegakan hukum terhadap kasus kekerasan jurnalis tidak jelas. Ketua AJI Kota Mandar Rahmat Fa memaparkan, setidaknya ada 12 kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi setahun terakhir, 4 di antaranya di Sulbar.
“Dalam kurun waktu empat bulan terkahir, setidaknya ada empat kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Sulbar,” sebut Rahmat.
Ia menyebut, ketidakjelasan penerapan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers itu semakin tumpang tindih dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Hanya saja saat ini, kebebasan pers terkesan sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih UU Pers dengan UU lainnya seperti UU ITE,” kata Rahmat.
Usai berorasi, sejumlah jurnalis dari berbagai organisasi itu menabur bunga dinatas kartu ID sebagai simbol matinya kebebasan pers dan lemahnya perlindungan terhadap pekerja jurnalistik.
Sejumlah organisasi mahasiswa seperti Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota (FPPI Pimkot) Mamuju, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) cabang Manakarra, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Mamuju yang tergabung dalam aliansi turut melantunkan orasi terkait kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Reporter: Sugiarto
Editor: Ilma Amelia