Proses belajar dalam ruang tenda yang hanya diisi tiga siswa.
Majene, mandarnews.com – Kisah pilu harus dirasakan oleh puluhan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) Negeri 28 Aholeang, Desa Mekkatta, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Puluhan pelajar penyintas gempa bumi yang terjadi pada pertengahan Januari 2021 lalu ini secara terpaksa harus belajar di tenda pengungsian di Dusun Alle-Alle Desa Mekkatta dengan kondisi yang sangat tidak layak huni.
Bahkan, mereka harus belajar di tenda pengungsian dengan petak ukuran sekira 4×6 meter yang hanya terbuat dari terpal dan bahan triplek seadanya. Kalau hujan mereka akan kehujanan dan saat terik matahari mereka harus kepanasan.
Belum lagi, anak-anak yang tengah memperjuangkan masa depannya ini harus belajar dengan dikelilingi oleh puluhan pohon sawit dan kelapa yang sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman bagi mereka.
Tidak hanya itu, sekolah dasar yang mengakomodasi pelajar dari Dusun Aholeang dan Rui ini juga sangat tidak layak dan strategis untuk digunakan menuntut ilmu, mengingat keberadaan tenda pengungsian yang digunakan belajar berada di tengah-tengah tenda pengungsian masyarakat.
Sehingga dengan kondisi ini, acap kali membuat siswa menjadi susah untuk serius dan konsentrasi, bahkan adik siswa yang masih umur lima tahun ke bawah (balita) beberapa kali masuk di ruang belajar.
Sampah di sekitar lokasi pengungsian juga turut menambah kepiluan para pelajar dari Aholeang dan Rui ini. Belum lagi, sarana dan prasarana yang sangat tidak memadai, seperti buku-buku dan lainnya.
Guru SDN 28 Aholeang Marfah, S. Pd turut sedih dengan kondisi ini. Saat dikonfirmasi oleh wartawan, hatinya tak kuat menahan kepiluan yang harus dirasa oleh para siswanya.
Hal itu nampak dari mata yang berkaca-kaca dan suara yang seolah menandakan kegetiran tiap kali menyampaikan pernyataan.
“Jika hunian tetap tak bisa dirasakan oleh warga Aholeang dan Rui secepatnya, setidaknya pemerintah serius memperhatikan kebutuhan dasar warga, yakni pendidikan,” ujar Marfah.
Ia menyebutkan, tiap hari ia harus mengajar 3-5 siswa saja dalam tiap kelasnya. Sementara kelas tenda yang ada hanya dua dan satu yang sering digunakan belajar adalah musala.
“Karena ruang kelas yang tidak memadai ya mau tidak mau harus begini, 3-5 orang saja yang kita bisa ajar, itu pun sudah sangat sempit. Belum lagi kalau hujan belajarnya kami hentikan karena percikan air masuk,” tutur Marfah.
Pihaknya pun sengaja tidak membatasi seragam siswanya karena sadar banyak siswa yang seragamnya tertimbun reruntuhan longsor. Sehingga, saat proses belajar mulai, acapkali seragam siswa berbeda.
Selain gedung sekolah atau tempat belajar yang layak sangat perlu diperhatikan, Marfah juga menyebutkan jika sarana dan prasarana belajar juga tidak boleh diabaikan.
“Tak usah bicara perpustakaan, buku-buku yang ada saja sangat terbatas. Para guru terkadang hanya mengambil pelajaran dari internet, diunduh, dan diajarkan kepada siswa,” ucap Marfah.
Ia pun berharap, Pemerintah Majene utamanya dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Pemuda Olahraga (Disdikpora) memerhatikan kondisi yang ada di tempatnya ini.
“Saya menginginkan agar hak mendapatkan pendidikan yang layak dari murid saya diberikan,” tukas Marfah.
Ia menyampaikan, ada 50 siswa di SDN 28 Aholeang, mulai dari kelas I sampai VI.
Anita, siswa yang duduk di bangku kelas V berharap agar pemerintah bisa memerhatikan ruang belajar serta sarana dan prasarana.
Menurut Anita, banyak hambatan yang harus dilalui saat belajar, mulai dari kondisi lingkungan yang tidak tepat, keributan yang membuat sulit berkonsentrasi, dan cuaca.
“Kalau hujan kami kehujanan, kalau terik kita kepanasan. Kami mau tempat yang layak, kami juga punya cita-cita Pak Presiden,” ungkap Anita.
Anita dan kawan-kawannya pun hanya bisa pasrah saat ini, terkadang pelajaran harus dihentikan jika hujan tiba-tiba turun yang membuat lantai kelasnya menjadi becek.
Penderitaan yang dirasakan oleh pelajar dari Aholeang dan Rui ini pun akan berjalan setahun pada 15 Januari.
Mereka juga harus belajar dengan cara berganti shift karena ruang yang tidak memadai.
Tak ada yang berubah dalam hari-hari yang berjalan. Bahkan orang di pengungsian menyebutkan, kadang ada dari pemerintah yang datang, tapi seolah hanya datang memantau. (Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia