Mengayuk becak adalah salah satu jenis pekerjaan yang digeluti Nuawi (40), warga Lembang Desa Limbua Kecamatan Sendana. Ia juga pernah mengeluti jasa pembuatan atap anyaman dari daun nipah (ate’ rumbia). Dari jerih payah mengayuh becak, Awi -panggilan akrabnya- mampu membuka kedai yang menyediakan sembilan bahan pokok (sembako). Kedai milik Awi beroperasi 24 jam.
Penulis tidak bermaksud mengulas lebih jauh tentang pekerjaan yang digeluti Nuawi melainkan semangat mencerdaskan bangsa yang terus digenggamnya hingga sekarang meski profesinya bukan sebagai pendidik tapi tukang becak.
Pekerjaan mengayuh becak tidak memerlukan keahlian. Bahkan mengayuh becak (tiga roda) tidak serumit mengendarai sepeda yang membutuhkan keseimbangan. Pekerjaan ini cukup mengandalkan tenaga. Pengendara becak cukup duduk di atas sadel lalu mengayuhkan kaki di atas pedal, becak sudah bisa melaju. Karena tidak butuh keahlian khusus apalagi ijazah itulah sehingga banyak warga yang memilih jadi tukang becak (pengayuh becak).
Lantas, apakah para tukang becak adalah orang-orang yang tak berpendidikan dan tidak memiliki kecerdasan ? Di benak kebanyakan orang memang seperti itu. Tapi kisah Awi barangkali bisa menikung pemikiran itu.
Awi memang hanya tamat SMU, tapi bukan berarti tidak ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jurang kemiskinan mengkandaskan cita-citanya. Kemiskinan itu mengungkung dirinya hingga tidak bisa ke puncak pendidikan dan dirinya pasrah hanya bisa menyelesaikan pendidikan di SMA PGRI Somba.
Menyelesaikan studi di SMU PGRI Somba juga tidak semulus teman seangkatannya yang lebih mujur dalam hal kesejahteraan. Karena kemiskinan, Awi sempat putus sekolah selama dua tahun. Kebijakan sekolah (SMU PGRI Somba, kala itu, tidak membiarkan siswa mengikuti pelajaran tanpa mengenakan seragam pramuka pada Jumat dan Sabtu, sementara Awi muda tidak memiliki seragam pramuka. Ibunya yang diceraikan ayahnya, tidak mampu membelikan seragam pramuka. Awi adalah bungsu dari empat bersaudara, dia adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga kecilnya. Semenjak kecil sudah ditinggal sang Ayah, yang lebih memilih perempuan lain daripada Ibunya. Sebenarnya, Awi sempat mendatangi kerabatnya untuk meminta bantuan membelikan baju seragam pramuka. Tapi upaya itu gagal bahkan mendapat cacian.
Awi pasrah harus putus sekolah. Ia kemudian melamar pekerjaan sebagai kuli/buruh bangunan. Menjadi kuli bangunan dijalaninya selama dua tahun, tapi semangat belajarnya tidak pernah kendor. Ia terus membaca buku, terutama bidang studi Bahasa Inggris. Ia bertekad akan melanjutkan sekolah setelah memiliki cukup uang membeli baju seragam pramuka.
Hasil jerih payah selama dua tahun menjadi kuli ternyata tak hanya cukup untuk membeli baju seragam pramuka. Ia bahkan dapat membeli kambing untuk diternak dan sebagian lagi diberikan kepada ibunya untuk kebutuhan dapur sehari-hari.
Bergelut tanah, pasir, semen dibawah sinaran mentari yang menyengat yang digeluti selama dua tahun sudah saatnya ditinggalkan. Awi muda kembali ke sekolah. SMU PGRI Somba kembali menjadi areal tambang mendulang aktivitasnya sehari-hari. Pancaran sinar masa depan kembali bersinar dihadapannya.
Awi muda terbilang cerdas mencerna semua materi pelajaran. Tapi yang lebih menonjol adalah mata pelajaran Bahasa Inggris. Untuk mata pelajaran yang satu ini, Awi muda sering terlibat perdebatan dengan gurunya dalam hal pengucapan berbahasa Inggris. Dengan kemampuan yang dimiliki ia berani mendebat gurunya.
“Dia memang terkenal Cerdas sewaktu dia masih duduk di bangku SMA, apalagi pelajaran Bahasa Inggris,” kata Harli S.Pd, salah seorang guru di Sendana. Harli menambahkan, guru Bahasa Inggris mesti hati-hati mengajar dan bersiap mendapat protes dari Nuawi.
Sementara Aljibra, Mahasiswa UNIKA Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian mengaku kagum dan bangga bisa kenal Nuawi. Aljibra mengaku lebih sering menghabiskan waktu di rumah Nuawi untuk belajar bahasa Inggris sewaktu masih duduk di bangku SMP hingga SMA.
Untuk mata pelajaran Bahasa Inggris pula Awi muda pernah diutus sekolah mengikuti lomba Bahasa Inggris tingkat kabupaten. Dalam lomba itu, masing-masing sekolah mengutus dua perwakilan, namun SMU PGRI Somba hanya mengutus Awi. Hasil lomba, Awi termasuk dalam empat besar. Hasil ini cukup membanggakan baginya karena dirinya tidak pernah mendapatkan bimbingan khusus untuk persiapan mengikuti lomba, seperti yang diterima peserta lainnya.
Saat teman seangkatannya berada pada level pertengahan (semester V) di perguruan tinggi, Awi baru menyelesaikan pendidikan di SMU PGRI Somba karena sempat putus sekolah selama dua tahun. Setelah tamat SMU, Awi kembali mengalami kegetiran. Ia tak lagi punya harapan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dana yang dikumpulkan selama dua tahun menjadi kuli bangunan telah habis. Yang tersisa hanya kambing piaraan yang tidak dapat diandalkan menutupi baya kuliah. Waktu itu perguruan tinggi hanya ada di Ujung Pandang (kini : Makassar), belum ada di daerah seperti sekarang. Awi berpikir keras, meski memiliki biaya kuliah, mesti pula menyediakan biaya hidup sehari-hari dan biaya untuk sewa rumah kost. Meski ia bekerja sebagai kuli lagi, tidak akan dapat menutupi semua biaya itu.
Lagi-lagi karena tak punya biaya, rencana pendidikan Awi kandas lagi. Ia hanya mampu menyelesaikan pendidikan SMU dan tak mampu melangkah ke perguruan tinggi meski gelora belajar dan ingin berbagi ilmu kelak masih membara. Awi kembali dirundung kesedihan. Jiwanya berontak. “Mengapa aku tidak diberi kesempatan melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, bukankah niatku ini tidak salah,” kata batinnya.
Di tengah meratapi kesedihan, Awi mendapat ajakan merantau dari sahabat, Asri, yang hampir senasib dengannya. Asri mengajak Awi mencari peruntungan hidup di pulau Kalimantan.
Mungkin satu dua orang saja yang tahu, bahwa sebenarnya mereka berdua ini mempunyai cita-cita sangat mulia. Mereka ingin tak ada lagi penduduk di kabupaten Majene yang tidak bisa membaca dan menulis, terutama di kampung kelahiran mereka, Kecamatan Sendana. Keinginan itu akan mulus tercapai jika mereka lulus kuliah. Tapi nasib menentukan lain. Awi dan Asri merantau mencari kerja di Kalimantan.
Tak lagi betah tinggal di Kalimantan, mereka berdua pulang kampung. Asri melanjutkan cita-citanya. Ia Mendirikan yayasan LK2BS dan mendirikan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Sementara Awi menjadi tukang becak.
Awi memang tidak mendirikan lembaga seperti Asri. Namun ia tetap berperan mencerdaskan bangsa di sela kesibukannya mengayuh becak. Awi melayani siswa dari sekolah manapun yang datang padanya untuk belajar Bahasa Inggris. Terkadang pula didatangi sarjana/guru Bahasa Inggris untuk berdiskusi atau sekadar melatih lidah melafal Inggris. Jika ada turis (wisatawan asing) yang datang ke Sendana, Awi terkadang menjadi juru bahasa.
Bagi Awi, profesi apa pun yang digeluti, berbakti kepada dunia pendidikan tetap terbuka. Yang terpenting baginya bagaimana memberi atau membagikan ilmu yang dimiliki tanpa berpikir imbalan.(Haslan)