
Penulis: Darmin Dina, SST., M.Kes (Dosen STIKES Bina Bangsa Majene)
Tingginya prevalensi anemia pada remaja di negara-negara berkembang telah diakui secara luas sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting karena konsekuensi negatifnya terhadap masa depan bangsa dan akan berlanjut saat yang bersangkutan dalam proses kehamilan .
Kekurangan asupan makanan dan mikronutrien (MMN) seperti vitamin A, seng, vitamin B12, yodium, dan folat masih tinggi dan berdampak negatif pada konsentrasi belajar siswa (Cetin dkk., 2019;UNICEF dkk., 1999). Kekurangan zat tersebut akan berlanjut pada kehamilan dan salah satu dampak negatifnya adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang lebih dikenal dengan stunting.
Stunting (kerdil) adalah kondisi gagal tumbuh atau manifestasi paling umum dari kekurangan gizi yang dimulai dari dalam kandungan sampai pada anak usia dini/sekolah dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Hal ini merupakan akibat dari berbagai keadaan dan determinan meliputi masalah gizi yang terjadi pada antenatal, intra-uterin, dan postnatal sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2018b; Kementerian Kesehatan 2018; WHO, 2010; UNICEF/WHO/World Bank Group, 2019). Secara global, sekitar 149 juta balita menderita stunting.
Anak- anak ini memulai hidup mereka pada posisi yang kurang menguntungkan. Dapat menghadapi kesulitan belajar di sekolah, mendapat penghasilan kurang sebagai orang dewasa, dan menghadapi hambatan untuk berpartisipasi dalam komunitas mereka (UNICEF/WHO/World Bank Group, 2019).
Resolusi tentang gizi ibu, bayi, dan anak kecil yang diadopsi oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 mencakup target global untuk mengurangi 40% jumlah balita yang stunting pada tahun 2025. Stunting telah diidentifikasi sebagai prioritas kesehatan masyarakat utama dan ada target ambisius untuk mengurangi prevalensi stunting sebesar 40% antara 2010 dan 2025.
Tahun 2010, diperkirakan 171 juta anak-anak (167 juta di negara-negara berkembang) mengalami stunting menjadi sekitar 100 juta pada tahun 2025 (De Onis dkk., 2013). Secara global, stunting masa kanak-kanak menurun dari 39,7% pada 1990 menjadi 26,7% pada 2010. Tren ini diperkirakan akan mencapai 21,8%, atau 142 juta, pada tahun 2020 (De Onis dkk., 2013; Prendergast & Humphrey, 2014).
Stunting di Afrika mengalami stagnasi sejak tahun 1990 sekitar 40% dan sedikit perbaikan yang diantisipasi, Asia menunjukkan penurunan dramatis dari 49% pada 1990 menjadi 28% pada 2010, hampir mengurangi separuh jumlah anak stunting dari 190 juta menjadi 100 juta.
Ini mengantisipasi bahwa tren ini akan berlanjut dan pada 2020 Asia dan Afrika akan memiliki jumlah anak stunting yang sama (masing-masing 68 juta dan 64 juta). Angkanya jauh lebih rendah (14% atau 7 juta pada 2010) di Amerika Latin (De Onis dkk., 2012; De Onis dkk., 2013).
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%) (Kementerian Kesehatan RI, 2018b; WHO, 2018).
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan WHO dari 2005-2017, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR) yaitu rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia adalah 36,4% (Kementerian Kesehatan RI, 2018b;WHO, 2018).
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%.
Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%, sedangkan prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2% dan akhirnya berdasarkan RISKESDAS pada tahun 2018 prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8% (Kusumawati, dan kawan-kawan [dkk]., 2013; Ketut Aryastami & Tarigan, 2017; Kementerian Kesehatan RI, 2018b), jika dibandingkan dengan data dari Pemantauan Status Gizi (PSG) bahwa pada tahun 2015.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting secara umum telah banyak diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatemi dkk., 2019 menunjukkan bahwa hubungan yang signifikan antara stunting dan pekerjaan ibu dan penyakit kronis.
Selain itu, hubungan yang signifikan ditemukan antara pendapatan keluarga, konsumsi susu, dan protein hewani dalam makanan. Juga, peluang stunting berbanding terbalik dengan interval kelahiran dan durasi pemberian ASI eksklusif, panjang badan saat lahir, tidak menerima suplementasi vitamin A ibu postnatal dan sumber makanan keluarga, tidak tersedianya jamban, sosial ekonomi (Bogale dkk., 2018; Derso dkk., 2017; Danaei dkk., 2016; Akombi dkk., 2017; Fatemi dkk., 2019; Loida dkk., 2017).
Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Torlesse dan kawan-kawan pada 2016 menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu stunting yang signifikan antara lain: fasilitas sanitasi rumah tangga dan pengolahan air rumah tangga, tidak ada perawatan antenatal di fasilitas kesehatan, dan partisipasi ibu dalam keputusan tentang makanan apa yang dimasak dalam rumah tangga.
Begitupun dengan penelitian yang dilakukan oleh Mgongo dkk., (2017); Gari dkk., (2018), faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting adalah usia anak, anak sakit dan berat lahir, ayah berusia 35+ tahun, kelahiran prematur, dan malaria.
Dalam uji coba di Bangladesh, suplementasi MMN ibu sebelum dan sesudah melahirkan menghasilkan peningkatan Length-for- age Z-score (LAZ) dan pengurangan stunting hingga usia 3 bulan, tetapi tidak setelahnya dan tidak memiliki dampak pada fungsi kognitif dan motorik pada 2 tahun (Christian dkk., 2016).
Anak-anak yang menderita stunting mungkin tidak akan pernah mencapai ketinggian yang maksimal dan otak dapat mengalami gangguan perkembangan sehingga tidak dapat mencapai potensi kognitif secara penuh (UNICEF dkk., 2014).
Stunting juga berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan (Kementerian Keuangan, 2018; The World Bank, 2019).
Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka dianggap penting pengaruh daun kelor terhadap penurunan stunting yang merupakan tanaman lokal yang mudah didapatkan.