Bakri (27) seniman jalanan yang ditemui di Taman Kota Majene beberapa malam yang lalu saat ngamen.
Majene, mandarnews.com – Hampir semua masyarakat merasakan dampak langsung dari adanya pandemi Covid-19.
Sejak masuknya di Indonesia, pergerakan dan aktivitas manusia pun menjadi terbatas, bahkan interaksi sosial pun kini beda dibanding sebelum adanya bencana Covid-19 tersebut.
Sebelum adanya Covid-19, warga dapat bebas berinteraksi sosial satu dengan yang lainnya, bersalaman dengan gaya biasa masih sangat wajar dilakukan dan wajah pun tidak harus tertutup oleh kain pelindung (masker).
Tak sedikit masyarakat yang merengek akibat adanya Covid-19, mulai dari karena terbatasnya mobilitas, usaha yang merugi, hingga satu persatu keluarga jadi korban jiwa akibat keganasan virus ini.
Pemerintah sampai saat ini masih berupaya melakukan berbagai instrumen sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, mulai dari penggunaan masker, jaga jarak, perilaku hidup bersih dan sehat, hingga mendatangkan vaksin dari luar negeri.
Saat ini, kita sudah berada di masa kita diharapkan mampu beradaptasi dengan adanya Covid-19 dan bisa berperilaku normal kembali tapi tetap dengan ketat protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19.
Satu demi satu pun manusia mulai bangkit dan memulai hidup kembali meski harus berdampingan dengan virus.
Seperti hal yang dilakukan salah satu pengamen jalanan, Bakri (27) asal Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar (Polman).
Bakri adalah pengamen jalan yang memulai kesehariannya ini sejak 2015 lalu.
Menurut Bakri, sejak adanya Covid-19 pendapatan pun kian turun, sebanding dengan sedikitnya pengunjung tempat yang biasa ia singgahi untuk mengamen.
Keseharian Bakri yang mengamen di tempat kerumunan bukan berarti karena tubuhnya kebal dengan Covid-19 tapi dia diwajibkan untuk menafkahi istri dan anaknya di rumah.
Pengamen jalanan yang ditemui Mandar News beberapa malam lalu di Taman Kota Majene ini mengaku sudah sering mengamen di tempat yang dipenuhi oleh orang-orang meski ia sadar jika bahaya juga mengintai dirinya.
“Saya tinggal di Campalagian, Polman karena istri di sana. Tiap malam harus mondar mandir untuk mengamen mencari pendapatan,” kata Bakri kala itu yang diajak untuk semeja usai ngamen.
Sang seniman jalanan itu mengaku, tiap malam pendapatan yang ia peroleh pun berbeda. Kadang mendapatkan sekira Rp 50.000, kalau ramai sekitar Rp100.000 hingga Rp200.000, tapi kadang juga hanya pembeli rokok.
“Semenjak adanya pandemi Covid-19 kini hanya mendapat sekira Rp50.000 dan tak jauh dari itu, tapi hal itu saya syukuri,” ujar Bakri.
Bahkan untuk tambah-tambah penghasilan dan memenuhi kehidupan sehari-harinya bersama keluarga, Bakri harus menjadi driver antar barang (kurir) saat siang hari.
Hal itu ia lakukan mengingat betapa sulitnya pendapatan ngamen saat suasana pandemi Covid-19 seperti saat ini.
“Kadang–kadang kalau kurang ya siang kita jadi kurir tapi apapun akan selalu disyukuri karena itu adalah rejeki kita,” kata Bakri.
Ia sendiri mengamen di Taman Kota Majene biasanya sebelum Maghrib hingga pukul 23:00 Wita malam lalu kembali ke rumah istri yang jaraknya cukup jauh.
Bakri mengamen dengan gitar legendarisnya yang setiap saat mendampingi langkahnya.
Pengamen jalanan itu memulai karirnya sejak 2015. Ia mengamen mengikuti langkah temannya dahulu, tapi saat ini ia mengamen hanya sendiri.
“Saya mengamen tidak menetap pada suatu daerah dan sudah menjajaki beberapa daerah di Sulawesi lewat mengamen, seperti Kota Makassar, Barru, Pangkep, Pinrang, dan beberapa kota lainnya di wilayah Sulawesi Selatan. Bahkan, saya juga sudah pernah ke Topoyo (Mamuju Tengah),” sebut Bakri.
Ia menceritakan bahwa ia pertama kali mengamen di pinggir Pantai Polman dan hingga sampai saat ini masih dilakoni.
Meski menjadi seniman jalanan adalah pilihan hidupnya ia mengaku tidak malu dengan profesi saat ini, tapi ia justru malu jika harus ngamen di hadapan keluarganya.
“Kalau pribadi tidak malu, tapi yang malu saat ngamen di hadapan keluarga takutnya keluarga berpikiran tidak- tidak, padahal menurut saya ini adalah hal baik,” tukas Bakri.
Selama masanya, ia mengaku tak sedikit orang yang memandang dia sebelah mata, mungkin karena profesinya tapi tidak pernah memasukkannya ke dalam hati.
“Makanya saya sangat bersyukur dan merasa senang ketika ada orang mengajak saya duduk semeja seperti ini, baik itu ditraktir atau tidak saya sangat bersyukur. Tidak banyak orang yang masih peduli dan mempunyai rasadalam jiwa seperti yang kita lakukan,” ungkap Bakri.
Ia pun mengaku selalu bersyukur atas apa yang saat ini ia lakukan dan terima, meski kisah kelam selama ngamen waktu lalu pernah mewarnai perjalanan karirnya, seperti ngelem dan mabuk sebelum ditinggalkan seperti yang dilakukan saat ini seiring mulai berpikir dewasa.
Di akhir ceritanya, Bakri tidak lupa menyampaikan jika sewaktu di Topoyo ia pernah buat band bersama kawan- kawannya dan berdiri hingga saat ini bernama Varialflip.
Saat ini, Bakri hidup bersama keluarga kecilnya, yaitu satu orang istri bernama Wahyuni dan buah hatinya bernama Qiyas yang baru berusia 1 tahun.
(Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia