Oleh: Zulkarnain Hasanuddin
( Eks Konsultan P3MD/PID Prov. Sulbar )
Desa dalam konstruksi Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 (UU Desa) merupakan komunitas yang diberikan kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri berdasarkan fungsi self-governing community (komunitas yang berpemerintahan sendiri).
Berdasarkan konsep ini, maka penyelenggaraan pemerintah di tingkat desa dilakukan secara mandiri oleh komunitas desa. Kewenangan penuh untuk menjalankan pemerintahan sendiri tersebut membuka peluang bagi Pemerintah Desa (Pemdes) untuk menjalankan otoritasnya secara sepihak.
Sebagai mekanisme kontrol untuk mengantisipasi hal tersebut, UU Desa telah dilengkapi dengan norma-norma yang mengatur tentang demokrasi desa yang menjamin warga desa turut terlibat, baik secara langsung maupun perwakilan dalam tata kelola pemerintahan desa.
Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial.
Pola demokrasi desa yang dilambangkan dengan musyawarah dalam pencapain keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan keputusannya tersebut diperkirakan dasarnya adalah sistem sosial-ekonomi di masyarakat desa dan inilah yang dianggap sebagai dasar pembangunan (Mohammad Hatta).
Musyawarah sebagai prinsip demokrasi desa merupakan bagian dari rekognisi atas kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa, termasuk di dalamnya merekognisi sifat- sifat kegotong-royongan, kebersamaan, dan kolektivitas.
Dalam musyawarah, akal (bukan otot) dan pikiran jernih khas masyarakat desa yang memandu pertukaran argumentasi.
Mengacu pada ketentuan UU Desa, kepala desa memiliki posisi yang sangat penting, mengingat kepala desa merupakan orang yang paling bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
UU Desa menyatakan bahwa pemerintah desa adalah kepala desa itu sendiri yang dibantu oleh perangkat desa. Begitu pentingnya posisi kepala desa, sehingga untuk mendapatkan legitimasi secara demokratis, kepala desa harus dipilih secara langsung oleh penduduk desa.
Untuk menjamin netralitas dalam pelaksanaannya, UU Desa telah ditentukan bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung dilakukan oleh panitia yang dibentuk oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Panitia ini menurut UU Desa harus diisi oleh unsur perangkat desa, lembaga kemasyarakatan desa, dan tokoh masyarakat desa. Panitia bertugas melakukan penjaringan dan penyaringan bakal calon sesuai dengan persyaratan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon kepala desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan.
Calon yang terpilih berdasarkan suara terbanyak kemudian diserahkan kepada BPD, untuk selanjutnya BPD menyampaikan kepada Bupati/Walikota untuk disahkan melalui Keputusan Bupati/Walikota.
Dalam proses Pilkades, sebagai pihak yang diberikan kewenangan, desa melalui BPD membentuk panitia yang akan melakukan berbagai prosedur Pilkades sebagaimana diatur oleh UU Desa.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa panitia Pilkades telah menjalankannya secara baik, mulai dari penjaringan calon, pendataan daftar pemilih, pelaksanaan pemilihan, hingga penghitungan suara.
Meskipun begitu, hal tersebut tidak lepas dari peran pemerintah kabupaten, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), maupun keterlibatan secara langsung.
Perda memainkan peran penting, karena dengan Perda panitia memiliki panduan operasional dalam pelaksanaan Pilkades, misalnya dalam hal persyaratan calon serta tahapan tes untuk penjaringannya. Selain dalam bentuk Perda, keterlibatan kabupaten juga dilakukan secara langsung, terutama jika muncul masalah yang dihadapi oleh panitia.
Namun jika mengacu pada konsep dasarnya bahwa demokrasi adalah perwujudan peran masyarakat secara aktif, dalam pelaksanaan Pilkades misalnya, peran tersebut masih kurang terlihat kecuali pada keterlibatan kepanitiaan. Kepanitiaan di bawah BPD mengasumsikan bahwa Pilkades berada di bawah kewenangan masyarakat desa.
Akan tetapi jika melihat praktiknya bahwa hampir keseluruhan proses masih banyak tergantung pada Perda dan keterlibatan langsung kabupaten maupun kecamatan, menunjukkan bahwa peran masyarakat desa masih belum terlalu maksimal dan kuat. Kapasitas BPD maupun masyarakat yang masih perlu dikuatkan mungkin salah satu sebabnya, sehingga peran keduanya dapat dimaksimalkan di masa yang akan datang.
Penyebab yang lain karena ruang dalam UU Desa juga tidak memberikan peluang bagi warga desa untuk terlibat dalam proses pengawasan Pilkades karena pengawasan sepenuhnya tergantung pada kabupaten, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 72 Tahun 2020 Pasal 5 ayat 4 perubahan kedua atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, termasuk beberapa tahapan seperti seleksi dan persyaratan yang masih diselenggarakan oleh kabupaten.
Namun, yang lebih penting dalam demokrasi desa adalah memastikan bahwa ujung dari proses pemilihan kepala desa selain legitimasi adalah terjaganya kearifan lokal sebagai guiden agar kerekatan dalam persatuan warga desa tetap tertata dengan baik sebagai satu kesatuan masyarakat.
Sehingga, pelaksanaan pembangunan desa berjalan baik dalam bingkai rekonsiliasi antar warga yang mungkin sempat terbelah selama proses pelaksanaan pemilihan kepala desa yang membuat nilai-nilai kehidupan berdesa tetap terjaga dan lestari dalam sanubari warga desa.