Bawakan Materi. Fasilitator dari Divisi Advokasi AJI Indonesia, Aryo Wisanggeni sedang bawakan materi pada Workshop ‘Safety Journalist’, Sabtu 28 Oktober 2017.
Manado, mandarnews.com – Sejak awal tahun 2016 hingga kini, the International Federation of Journalist (IFJ) mencatat sebanyak 107 orang jurnalis telah dibunuh di berbagai belahan dunia, dan lebih dari 90 persen dari jurnalis yang dibunuh adalah lokal jurnalis. Hal ini mengindikasikan adanya krisis terhadap keamanan jurnalis itu sendiri.
Sehubungan dengan itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan IMS dan IFJ menyelenggarakan workshop Safety of Journalist di Hotel Best Western Lagon, Manado.
selama dua hari, workhsop ini digelar dan diikuti kalangan jurnalis di Manado dan kota-kota lain seperti Gorontalo, Makassar, Mandar, Ternate, dan Denpasar.
Fasilitator dari AJI Kota Jayapura, Victor Mambor (kanan)
Saat membawakan materi, Aryo Wisanggeni, fasilitator dari Divisi Advokasi AJI Indonesia mengatakan, AJI itu lahir akibat kekerasan dan pembredelan media tahun 21 Juni 1994. Hal itu akibat rezim pemerintah saat itu.
Melalui workshop ini, Aryo membagi dua bentuk upaya yang mengancam keamanan jurnalis saat meliput. Keduanya adalah kekerasan fisik dan non fisik. Kekerasan fisik mengakibatkan kerugian fisik, mulai dari luka ringan hingga meninggal dunia.
“(Sedangkan) non fisik seperti menghalangi kerja jurnalistik (pelarangan liputan, pengusiran, perusakan atau perampasan alat kerja jurnalis, pendudukan kantor jurnalis, intimidasi, unjukrasa dan lain-lain),” kata Aryo saat menyampaikan materi.
Lanjut Aryo, berbagai macam pemicu kekerasan terhadap jurnalis. Mulai dari berita yang kritis dan mengancam penguasa, liputan pada daerah tindak pidana atau pelanggaran HAM. Ada juga karena ketidakprofesionalan jurnalis itu sendiri. Seperti memihak dan tidak netral.
Korwil AJI Indonesia Tmur, Upi Asmaradhana (kiri)
Pada kesempatan ini, Aryo juga menjelaskan cara-cara yang harus dilakukan jurnalis atau AJI Kota saat mengadvokasi kasus kekerasan. Pesan pentingnya, melakukan kajian terlebih dahulu. Utamanya atas persetujuan dan mengedukasi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
Aryo juga menyampaikan, para peserta yang berasal dari berbagai AJI Kota ini harus melaporkan ke AJI Indonesia setiap terjadi kasus kekerasan. Pelaporan itu bisa melalui situs advokasi.aji.or.id. Pada seluruh data yang dibutuhkan harus diupload ke situs tersebut agar segera bisa ditindaklanjuti dan menjadi database AJI Indonesia.
Pada hari pertama workshop, panitia menyiapkan tiga pemateri. Diantaranya, Korwil AJI Indonesia Timur, Upi Asmaradhana dan dari AJI Kota Jayapura, Victor Mambor. Termasuk Aryo Wisanggeni. (Irwan Fals)