Saat siswa-siswi SDN 15 Segeri mengikuti pembelajaran dengan melantai di Masjid Daurul Faizin, Kamis (4/5/2023).
Majene, mandarnews.com – Pemandangan yang memilukan kembali terlihat di Kota Pendidikan, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat.
Pasalnya, puluhan siswa-siswi dari sekolah dasar negeri (SDN) 15 Segeri, yang berada di Kecamatan Banggae Timur, Majene, harus mengikuti proses pembelajaran dengan cara melantai di salah satu masjid yang berada tak jauh dari sekolah.
Hal ini dikarenakan, salah satu warga setempat Alimuddin (ahli waris) yang mengklaim bahwa tanah yang ditempati pembangunan sekolah tersebut miliknya, kembali menyegel sekolah tersebut.
Penyegelan telah dilakukan sebanyak dua kali. Penyegelan pertama dilakukan ahli waris pada tanggal 15 Maret 2023 lalu. Namun kembali dibuka saat pihak kepolisian melakukan mediasi dengan ahli waris tersebut.
Berselang sekitar 4 hari setelah segel dibuka, ahli waris kembali melakukan penyegelan (penyegelan kedua) mengingat rencana Pemerintah Daerah untuk melakukan ganti rugi atas penggunaan tanah tersebut tidak terealisasi.
“Saya selalu di janji-janji pembayaran ganti rugi, mulai dari tahun 1965 saat masih orang tua kami. Dan kami kembali meminta kejelasan pada tahun 2019 pada saat itu hampir semua kantor saya masuki, tapi tidak ada solusi,” jelas Alimuddin, Kamis (4/5/23).
“Jadi saya melakukan penyegelan bukan bermaksud lain, tapi saya melakukan penyegelan untuk meminta hak dari orang tua kami yang sudah sekitar 58 tahun tanah kami digunakan untuk kemaslahatan ummat,” tandasnya kembali.
Ahli Waris tersebut mengaku akan terus melakukan penyegelan sampai ada kesepakatan atau persetujuan ganti rugi dari Pemda.
Adapun nominal yang diminta Alimuddin sebagai ganti rugi tanah itu adalah 1 milyar. “Tapi ini nilainya kan bisa dinegosiasikan,” ujarnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sudah pernah membawa perkara lahan tersebut ke Pengadilan Negeri Majene pada tahun 2020 terkait penyampaian dari pihak Pemda bahwa telah melakukan pembelian terkait lahan itu.
“Jadi kita ke Pengadilan membawa gugatan penjualan tanah tersebut yang terjadi pada tahun 1951 yang diakui oleh Pemda. Karena memunculkan pertanyaan terkait siapa yang menjual, siapa yang membeli, siapa yang terima uangnya dan siapa yang tanda tangan. Tapi putusan pengadilan justru membuat saya bingung, pasalnya Pengadilan Negeri Majene justru mengeluarkan putusan bahwa tanah tersebut tanah adat. Artinya pada saat itu, draw antara Pemda (tergugat) dan kami (penggugat),” imbuhnya.
“Kami juga sudah pernah melakukan mediasi (2019) di lurah dan sudah ada keputusan yang dikeluarkan bahwa lahan ini betul-betul milik pemohon (kami). Yang ditandatangani oleh Ketua Komite, Binmas dan Babinsa. Dan ada enam saksi. Bahkan di belakang surat keputusan itu ada 42 masyarakat juga bertanda tangan sebagai saksi,” tutupnya.
Terlepas dari segala permasalahan, salah satu guru SDN 15 Segeri, Aminah mengaku sangat prihatin melihat kondisi yang dialami siswa-siswinya saat ini.
Pasalnya, ia mengaku bahwa pembelajaran di masjid sangat terbatas dibandingkan belajar di sekolah. Hal ini dikarenakan terbatasnya alat bantu pembelajaran seperti tidak adanya papan tulis serta terbatasnya buku-buku yang ada.
“Artinya memang pembelajaran tidak semaksimal di sekolah, karena tidak ada papan tulis dan buku seadanya, karena kita juga tidak berani mengambil ke dalam sekolah karena tersegel. Apalagi kita kurikulum merdeka jadi betul-betul terbatas, dan tidak mungkin kita juga bawa semua buku-buku ke masjid, takutnya mengganggu pelaksanaan ibadah,” kata Aminah, dengan nada sedih.
Aminah juga begitu kasian melihat siswa-siswinya, yang merasa cemburu melihat tetangga sekolahnya bisa belajar dengan baik.
“Bahkan terus terang bukan hanya keluhan dari siswa tapi keluhan juga datang dari orang tua siswa-siswi. Karena ada juga berencana memindahkan anaknya dari sekolah ini karena melihat kondisi sekolah seperti saat ini,” ungkapnya.
“Sebenernya bisa saja kita tidak datang untuk mengajar karena kita punya alasan bahwa sekolah kami ditutup. Tapi karena kami punya hati nurani sebagai pendidik merasa terpanggil untuk selalu memberikan pembelajaran karena itu adalah tugas dan kewajiban kami. Makanya kami mengambil inisiatif untuk belajar di masjid meskipun sangat terbatas. Karena kami berfikir bahwa ini adalah tempat yang paling efisien,” Aminah kembali.
Lebih jauh kata Aminah, kondisi ini juga sangat berdampak besar terhadap penerimaan siswa baru.
“Kami juga telah membagikan formulir bulan lalu, ada delapan murid yang digalang tahun ini tapi sebagian mau mundur. Tapi kami minta kepada orang tua siswa untuk bersabar, hanya saja kalau memang belum ada kepastian sampai bulan enam, ya apa boleh buat, karena kita juga tidak bisa menghalangi keinginan dari orang tua siswa,” katanya.
Ia pun kepada Pemerintah Daerah Majene untuk secepatnya mencarikan solusi terkait permasalahan sekolah yang memiliki 54 siswa-siswi tersebut.
“Kalau memang ini milik penuntut ya diberikan saja. Kalau memang mau diganti rugi, ya dibayar. Tapi kalau memang sekolah ini hak milik negara yang ambil tindakan. Jangan biarkan permasalahan ini berlarut-larut karena kasian kami dan siswa-siswi. Jadi memang terancam ini sekolah tertutup, karena bukan hanya siswa dan orang tua siswa yang mengeluh bahkan sebagian guru juga sudah mengeluh ingin pindah sekolah jika kondisi ini terus seperti ini,” tutupnya.
(Mutawakkir Saputra)