Warga yang bermukim di kota-kota hanya menunggu becak atau ojek atau menggunakan kendaraan sendiri menuju pasar atau kedai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sungguh nikmat hidup ini.
Bahkan sekarang mulai tren berbelanja di rumah. Sangat mudah, hanya melakukan pesanan melalui internet di rumah bahkan di kamar tidur sekalipun. Transaksi pembayaran pun berlangsung di internet tidak perlu lagi ke Bank, barang pesanan tidak berapa lama diantar ke pemesan tergantung jarak antara penyedia jasa dan alamat pemesan. Dengan berbelanja online ini nyaris nol risiko.
Tapi coba kita tengok ke suatu desa di Kecamatan Malunda, Desa Bambangan, Kabupaten Majene Sulawesi Barat. Di wilayah ini, warga di dua dusun, Batususun dan Tabolo, harus bertarung maut hanya untuk mendapatkan garam dapur dan kebutuhan lainnya. Apa pun yang ingin mereka dapatkan mereka harus menempuh maut, kecuali yang sudah disediakan alam.
Ini terjadi karena di Wilayah mereka membentang luas Sungai Bambangan sekitar 100 meter dan berarus deras. Sementara tidak ada jembatan penyeberangan.
Mereka terpaksa melintas dengan menjejakkan kaki ke dasar sungai yang berbatu licin dan airnya mengalir deras. Sungai terus menanti kelengahan pelintas untuk ditenggelamkan lalu diseret. Tak ada pilihan, mereka harus menyeberanginya.
“Kami tiap hari menyeberang sungai, memikul kurang lebih 25-50 kg hasil kebun, untuk ditukar kebutuhan, seperti beras,” kata Unna warga dusun Batususun.
Terkadang mereka merugi karena terpeleset sehingga barang bawaan yang diperoleh dari hasil penjualan hasil kebun basah setelah terpendam ke sungai.
“Saya pernah jatuh, gara-gara saya menginjak batu yang sangat licin, pada saat itu hilang keseimbangan saya, jadi, bawaan saya basah. Tapi apa mau di kata memang ini sudah rencana Sang Ilahi,” kenangnya. Dia mencoba tegar menceriterakan kisah perjuangan mempertahankan hidup tinggal di Bambangan tapi raut mukanya tidak dapat menyembunyikan kesedihan.
“Waktu itu hujan sangat deras, istri mau masak nasi, ternyata beras sudah habis. Dengan hati yang bercampur kesedihan saya harus pergi membeli beras menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer dari rumah dan harus meyebrang sungai lagi,” tuturnya.
Kisah memilukan ini mulai terjadi setelah jembatan gantung Bambangan rubuh lima tahun silam karena diterjang luapan air sungai. Jembatan yang melayang sekitar 15 meter diatas permukaan air sungai itu terhempas dihantam banjir bandang, lalu hanyut. Sejak itulah warga Desa Bambangan tidak memiliki jembatan penyeberangan.
Kesulitan akan penyeberangan pernah sempat sedikit teratasi. Waktu itu, Bupati Majene H Kalma Katta memberikan bantuan perahu bermotor. Tapi kendaraan air itu tidak lagi digunakan karena rusak. Warga tak lagi punya pilihan kecuali harus menjejakkan kaki ke dasar sungai jika ingin menyeberang.
“Meskipun kami tahu, ini sangat membahayakan diri kami, tapi inilah yang harus kami perbuat. Hanya inilah jalan terakhir kami tempuh. Kami berharap jembatan permanen segera ada,” kata Rohin, juga warga Batususun.
Warga dusun Tabolo Desa Bambangan juga mengalami nasib serupa. Hasil kebun seperti Durian, Kemiri, Coklat terpaksa dipikul sambil menyeberangi sungai.
“Saya Harus tiap hari mondar-mandir untuk menjual hasil kebun saya, hasilnya kami harus membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari kami selama di rumah,” kata Rahim, seorang ayah dari Tabolo yang memilik enam anak ini.
Tak sampai di situ penderitaan warga desa Bambangan ini, bahkan anak-anak mereka ingin Melanjutkan Pendidikan SD Sampai SMP, harus di ikhlaskan untuk meyebrangi sungai Bambangan. Meskipun orang tua mereka tahu, nyawa menjadi taruhan..
Dengan penuh Harapan ketika itu, “ Harusnya pemerintah memperhatikan kondisi kami” Kata warga bersamaan. sebelum menyebrang sungai, pada saat di Tanya harapan mereka.
Bagaimana dengan putra-putri mereka yang menempuh pendidikan ?
Anak-anak sekolah dari Dusun Batususun dan Dusun Tabolo, Desa Bambangan, Kabupaten Majene harus menyeberangi sungai minimal dua kali dalam sehari. Mereka itu pelajar SD dan SMP. Pelajar setingkat SMA memilih tinggal di rumah kos dekat sekolah masing-masing.
Orang tua siswa memiliki tambahan beban menyekolahkan anaknya karena harus menyeberangkan putra-putri bangsa ini. Mereka yang masih duduk di bangku kelas I, II, dan III harus digendong karena kaki mereka belum kuat untuk berpijak di dasar sungai. Para orang tua harus menyeberangi sungai minimal empat kali dalam sehari. Yakni pada pagi hari saat menyeberangkan anak mau berangkat sekolah dan siang hari saat menjemput anak pulang sekolah.
Warga berharap pemerintah dapat mengurangi penderitaan mereka dengan mendirikan jembatan permanen dan sekolah.(Busriadi)