- Hasil survei PT. Pedoman Suara Indonesia (PSI) pada awal Oktober 2020.
Mamuju, mandarnews.com – Pilkada Pasangkayu 2020 yang diikuti tiga pasangan calon kini cukup menyedot perhatian publik. Pasalnya, tren elektoral dan politik dinasti menghiasi roda pilkada di kabupaten kelima di Sulawesi Barat itu.
59,3 persen masyarakat Kabupaten Pasangkayu tidak setuju dengan praktik politik dinasti yang dilakukan petahana bupati, Agus Ambo Djiwa. Hal ini tergambar dalam hasil survei terbaru PT. Pedoman Suara Indonesia (PSI) pada awal Oktober 2020.
“Hanya 20,4 persen yang setuju dengan politik dinasti klan Ambo Djiwa. 2,5 persen yang ragu-ragu antara setuju atau tidak. Data ini mengonfirmasi mengapa elektabilitas pasangan Yaumil-Herni lebih rendah dibanding penantang,” kata Direktur Eksekutif PT. PSI Dr. Arief Wicaksono dalam diskusi politik di Café Almira Mamuju, Selasa (20/10).
Seperti diketahui, dalam Pilkada Pasangkayu 2020, bupati Agus Ambo Djiwa mendorong saudara kandungnya, Yaumil Ambo Djiwa maju sebagai calon bupati berpasangan dengan istri bupati Herny Agus Ambo Djiwa sebagai calon wakil bupati.
Dalam diskusi bertema “Bedah Peta Elektoral dan Dinasti Politik Pilkada Pasangkayu” tersebut diungkapkan elektabilitas pasangan Yaumil-Herny hanya 26,4 persen. Sementara mantan Bupati Pasangkayu, Abdullah Rasyid yang maju melalui jalur perseorangan dan berpasangan dengan M Yusri Nur mendapatkan elektoral sebesar 22,3 persen.
Elektabilitas tertinggi dipegang pasangan petahana wakil bupati Muhammad Saal yang berpasangan dengan legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pasangkayu Musawir Azis Isham. Duet pasangan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Ketua DPC Demokrat ini memperoleh elektoral sebesar 30,8 persen dalam survei yang dilakukan pada 3-10 Oktober 2020 itu.
Sementara 20,5 persen responden belum menentukan pilihannya di Pilkada Pasangkayu. Survei ini memiliki margin or error +/- 4,8 persen dengan jumlah sampel 440 responden.
“Kami juga menemukan fakta tingkat kepuasan masyarakat kepada kinerja wakil bupati Muhammad Saal sebesar 68,2 persen. Rupanya, kepuasan terhadap kinerja wakil itu lebih tinggi dibanding tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja bupati, Agus Ambo Djiwa yang hanya 60,4 persen,” imbuh Arief.
Pakar: Politik Dinasti Sangat Berbahaya
Sejumlah pakar politik menilai praktik politik dinasti yang berjalan di Indonesia dan juga di Pasangkayu sangat berbahaya bagi demokrasi dan terwujudnya pemerintahan yang baik.
Pasalnya, sudah banyak contoh dinasti politik yang berakhir buruk bagi masyarakat. Salah satunya gurita dinasti politik Ratu Atut Chosiyah di Banten yang berujung korupsi besar-besaran mulai dari tingkat pemerintahan provinsi hingga kabupaten.
“Sangat berbahaya apabila yang didorong oleh politik dinasti itu adalah leader-leader yang tidak berkualitas. Sudah banyak contoh-contoh kepemimpinan politik dinasti tidak menjanjikan perubahan signifikan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat yang dipimpinnya tapi meninggalkan bopeng-bopeng politik yang sangat berbahaya bagi penerusnya,” kata pakar politik dari Universitas Hasanuddin Dr. Sawedi Muhammad.
Dr. Hidayat Muallim, pakar politik Unhas lainnya menambahkan, dalam setiap kontestasi pilkada pada dasarnya semua orang menginginkan lahirnya pemimpin yang lebih baik dari sebelumnya. Namun pemimpin yang rakus juga akan memaksakan oligarkinya.
“Bagusnya di Pasangkayu masyarakat bisa melihat itu (mudharat politik dinasti, red) dan tidak setuju dengan praktik-praktik dinasti politik yang berlangsung,” ujar Dr. Hidayat.
Hanya Mementingkan Keluarga dan Kerabat
Direktur Profetik Institute Dr. Muh Asratillah Senge menjelaskan dinasti politik menurut teori Garsen disebut dengan istilah familisme, yakni ideologi politik yang berciri sangat bergantung pada ikatan keluarga dan menempatkan keluarga dan kekerabatan sebagai prioritas.
Menurutnya, dinasti politik yang berkembang di sebuah daerah tidak hanya akan membajak, menguasai, dan mengontrol sirkulasi elit, tapi juga membajak, menguasai, dan mengontrol sirkulasi dan perekrutan sub elit, seperti perekrutan aparatur sipil negara (ASN) dan penunjukan pejabat publik.
“Yakin saja sub-elit juga akan diatur secara kekeluargaan. Jadi jabatan-jabatan kadis, camat, lurah, kepala perusda pasti akan diatur secara kekeluargaan. Ketika ada dinasti politik, yakin saja itu berarti ada kongkalingkong antara elit politik dengan pihak swasta,” tandas Asratillah.
Keputusan Agus Ambo Djiwa, lanjutnya, memasangkan saudara kandungnya dengan istrinya merupakan praktik native familisme. Tingkat tertinggi dari ideolegi familisme.
“Semakin native familisme sebuah dinasti politik di daerah, maka akan semakin besar peluang terjadinya praktik korupsi di sebuah daerah. Sayang jika Pasangkayu yang kaya sumber daya alam dikelola oleh pemerintahan yang tidak efektif. Pemerintahan yang tidak menjalankan merit system tapi menjalankan familisme system sehingga hanya menguntungkan klan atau kelompok dinasti tertentu namun tidak menguntungkan masyarakat,” tegas Asratillah.
Sedangkan Direktur PT. General Survei Indonesia Dr. Herman Lilo menyebut praktik dinasti politik di era demokrasi sebagai ikatan “darah hijau” untuk membedakannya dengan oligarki “darah biru” kaum ningrat.
Darah hijau berarti dinasti politik berorientasi pada peningkatkan kesejahteraan keluarga sendiri. Praktiknya dengan menyelesaikan keputusan-keputusan penting pemerintahan di meja makan atau di atas ranjang saja.
“Ketika ada kebijakan dan keputusan penting yang lahir dari ujung mata pena penguasa daerah, itu bisa diselesaikan di kasur atau bisa diselesaikan di meja makan. Persoalan-persoalan kabupaten diselesaikan di meja makan, mungkin sambil makan nasi goreng, lalu tandatangan,” kata Dr. Herman.
Menurutnya, suburnya dinasti politik disebabkan oleh tiga peran elit yakni badut, bandit, dan bandar politik. Badut politik adalah calon pemimpin yang ditawarkan untuk menjadi tontotan masyarakat, bandit politik adalah orang yang menjadi tim sukses, dan bandar politik adalah cukong yang membiayai seluruh kebutuhan finansial para badut politik di pilkada. (rls/Sugiarto)
Editor: Ilma Amelia