Tahun 2016 menjadi tahun berbahaya bagi jurnalis di Indonesia. Selain masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, terdapat juga regulasi yang menindas media dan jurnalis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di tahun yang sama, terjadi pembiaran atas kasus intoleransi dan pengekangan ekspresi yang berbeda di berbagai daerah.
(Sumber foto : suara.com)
Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama Januari-Desember 2016. Setidaknya, ada 78 kasus kekerasan dan satu kasus pembunuhan terjadi. Berdasarkan, kategori pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh warga dengan 26 kasus, diikuti oleh polisi 13 kasus, pejabat pemerintah (eksekutif) 7 kasus, dan TNI, orang tidak dikenal, aparat pemerintah daerah (Satpol PP) masing-masing 6 Kasus.
TABEL I PELAKU KEKERASAN
NO |
PELAKU |
JUMLAH |
1 |
Advokat |
1 |
2 |
Aparat Pemerintah |
1 |
3 |
Hakim |
1 |
4 |
Pelajar/mahasiswa |
2 |
5 |
Ormas |
3 |
6 |
Kader parpol/caleg |
6 |
7 |
Satpol PP/Aparat pemrintah daerah |
6 |
8 |
TNI |
6 |
9 |
Tidak dikenal |
5 |
10 |
Pejabat Pemerintah |
8 |
11 |
Polisi |
13 |
12 |
Warga |
26 |
TOTAL |
78 |
*hasil verifikasi AJI
Sementara itu, untuk kategori jenis kekerasan, kekerasan fisik masih berada dalam posisi tertinggi, atau 35 kasus. Disusul oleh pengusiran atau pelarangan liputan 17 kasus, Ancaman kekerasan atau teror 9 kasus, dan perusakan alat atau data hasil liputan ada 7 kasus. Untuk kategorisasi wilayah, Jakarta Pusat dan Medan menempati posisi tertinggi, dengan 7 Kasus. Sementara Makassar 4 Kasus, dan Bandung dan Bandar Lampung, 3 Kasus.
TABEL II JENIS KEKERASAN
NO |
JENIS KEKERASAN |
JUMLAH |
1 |
Ancaman teror |
2 |
2 |
Pengerusakan alat |
2 |
3 |
Intimidasi lisan |
3 |
4 |
Intimidasi lisan oleh pejabat publik |
3 |
5 |
Perusakan alat dan atau data hasil peliputan |
7 |
6 |
Ancaman kekerasan |
9 |
7 |
Pengusiran/pelarangan liputan |
17 |
8 |
Kekerasan fisik |
35 |
TOTAL |
78 |
*hasil verifikasi AJI
Dari berbagai kasus tersebut, AJI secara khusus mencermati tiga kasus yang cukup menyita perhatian. Yakni kasus pengeroyokan enam jurnalis Medan oleh aparat TNI AU. Mereka adalah Array Argus (Harian Tribun Medan), Teddy Akbari (Harian Sumut Pos), Fajar Siddik (Medanbagus.com), Prayugo Utomo (Menaranews.com), Andri Safrin (MNC News) dan DE (Matatelinga.com). DE adalah jurnalis perempuan satu-satunya yang mengalami pelecehan seksual. Sementara itu, kasus lain adalah pengeroyokan jurnalis NetTV, Sonny Misdananto di Madiun oleh TNI AD, dan perampasan alat oleh TNI AU dalam peristiwa kecelakaan pesawat latih di Malang, Jawa Timur.
TNI yang selama Orde Baru menuai kritik karena terlibat dalam urusan sipil (juga politik) dan cenderung melakukan security approach sebagai cara menyelesaikan persoalan, menunjukkan kembali gejala serupa. Seperti dalam kasus pengeroyokan di Medan, hal itu gamblang terlihat. Demonstrasi yang dilakukan warga sipil untuk menuntut penyelesaian hak-haknya, direspon dengan “keliru”, dan berakhir dengan bentrokan. Jurnalis yang saat itu ada di lokasi untuk merekam semua kejadian itu, justru menjadi sasaran kemarahan anggota TNI.
Hal yang sama terjadi dalam kasus Madiun dan Malang, Jawa Timur, Palu Sulawesi Tengah dan DKI Jakarta. Di Madiun, Jurnalis Net TV yang mengabadikan momen penertiban lalu lintas (yang disertai dengan pukulan dan tendangan) oleh aparat TNI pada masyarakat sipil setempat, justru berbalik mengeroyok jurnalis .
Begitu juga di Malang, provinsi yang sama. Peristiwa kecelakaan pesawat latih TNI di lingkungan sipil, yang membuat TNI merasa perlu melakukan penjagaan. Ujungnya, hal itu berbuah perampasan alat-alat kerja jurnalis yang melakukan peliputan itu. Dalam kasus ini, TNI AU mengaku bersalah dan sudah bersedia minta maaf. Namun, hal itu jauh panggang dari api. Pengakuan bersalah harusnya diteruskan dengan pengusutan tuntas secara hukum positif Indonesia.
Namun, ketika TNI membawa persoalan ini di muka hukum, problem belum juga berakhir. Dalam kasus Madiun misalnya, AJI menilai ada ketidakseriusan. TNI tidak cukup transparan dalam proses penyidikan kasus-kasus itu. Padahal, transparansi menjadi salah satu cerminan kesungguhan dalam menyelesaikan kasus kekerasan pada jurnalis. Semakin tertutup proses penyelesaian kasus, maka publik semakin kesulitan melakukan proses pemantauan kasus.
Kekerasan terhadap jurnalis terus terulang salah satu penyebabnya tidak ada penegakan hukum terhadap para pelaku. Dari 78 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2016, tidak ada satupun kasus yang diproses hukum hingga dibawa ke pengadilan. Termasuk kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum. Baik dilakukan oleh TNI, polisi, satpol PP, aparat pemerintah hingga warga. AJI Indonesia menilai kepolisian telah gagal melindungi kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Dua tahun berturut-turut polisi menjadi pelaku kekerasan terbanyak kedua setelah warga. AJI pada perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2016 lalu menetapkan polisi sebagai musuh kebebasan pers 2016 setelah sebelumnya, 2015, penghargaan serupa juga disematkan kepada korps baju coklat ini.
Sejak AJI Indonesia menganugerahkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2015 lalu, hingga kini belum tampak ada perubahan. Polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Desakan AJI agar kepolisian mengusut tuntas kasus pembunuhan delapan jurnalis yang hingga kini belum diketahui pelakunya hingga kini belum ada tindak lanjut. Delapan jurnalis yang tewas karena pemberitaan tersebut adalah Muhammad Fuad Syahfrudin alias Udin (jurnalis Harian bernas Yogyakarta tewas tahun 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).
Kondisi buruknya penanganan di atas, tidak mengherankan bila kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan, dalam 10 tahun terakhir. Indonesia dalam kebebasan pers dan berekpresi terbaru menurut data World Press Freedom Index 2016 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis) menyebutkan berada di posisi merah. Dalam ranking 130 dari 180 negara. Posisi ini bahkan berada di bawah Timor Leste, Taiwan dan India. Ini sangat ironis mengingat tahun 2017, Indonesia akan menjadi tuan rumah World Press Freedom Day (WPFD).
Hal lain yang tidak kalah penting untuk dicermati tahun ini adalah masih adanya regulasi yang mengancam aktivitas jurnalis. Setidaknya ada 5 (lima) undang-undang yang berisi pasal-pasal yang “mengancam”, dan berpotensi merusak kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-undang Intelijen Negara (UU Intelijen) dan Undang-undang Pornografi (UU Pornografi).
Mengutip SafeNet, selain mengorbankan ratusan orang yang dilaporkan karena aktivitasnya di dunia internet, UU ITE juga memunculkan sengketa baru, ketika memberi kewenangan pemerintah untuk memblokir situs internet. Salah satunya menimpa situs media SuaraPapua.com. Secara semena-mena, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) melakukan pemblokiran, tanpa didahului dengan peringatan sebelumnya.
Semua persoalan itu diawali dengan penetapan UU ITE hasil revisi yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah RI, pada 27 Oktober 2016 dan mulai berlaku pada 28 November 2016. Dalam UU hasil revisi itu, ada 4 (empat) perubahan mendasar. Yakni: Penambahan pasal 26 tentang hak untuk dilupakan atau the right to be forgoten. Penambahan ayat baru di pasal 40 tentang penambahan kewenangan pemerintah menghapus dokumen elektronik, bila dinilai menyebarkan konten informasi yang dinilai melanggar UU. Penegasan tafsir tentang Pasal 5 yang menjelaskan dokumen elektronik bisa menjadi alat bukti yang sah di pengadilan. Dan yang terakhir menyangkut pemotongan masa hukuman dan denda, diturunkan dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun.
Terkait kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, hadirnya poin 2 (dua) revisi UU ITE terbukti menjadi penyebab ditutupnya media mainstream, SuaraPapua.com. Website berita itu dinilai menyebarkan informasi yang dianggap melanggar undang-undang, pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. AJI mengecam keras kebijakan Kemenkominfo ini. Bagi kami, pemblokiran itu merupakan tindakan bredel terhadap media pers, dan melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
AJI secara terbuka mempertanyakan dasar penilaian Ditjen Apinfo untuk memblokir ataupun meminta pemulihan akses sebuah situs. Apalagi, SuaraPapua.com adalah situs yang dikelola para jurnalis profesional, yang memang kritis menyuarakan ketimpangan pembangunan, berikut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Apakah itu menjadi dasar untuk bredel dengan cara pemblokiran akses? Pemblokiran SuaraPapua.com membuktikan pelaksanaan wewenang Ditjen Apinfo untuk menilai kandungan sebuah situs telah menyimpang dari prinsip perlindungan kebebasan berekspresi maupun pembatasan yang diatur Konvenan Sipil dan Politik, sesuai pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
AJI menyadari, karakter medium internet yang bersifat seketika dan tanpa batas, maka pembatasan sebagai pelaksanaan aturan Konvenan Sipil dan Politik memang boleh diberlakukan seketika. Namun, harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif. Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalah-gunakan untuk kepentingan penguasa.
Sepanjang tahun 2016, Indonesia diwarnai oleh tercabiknya kebebasan berekspresi. Yang paling akhir terjadi pada Desember 2016, ketika kelompok intoleran di Bandung melarang aktivitas keagamaan. Sementara di Surabaya, kelompok intoleran yang lain masuk ke mal-mal, untuk melakukan “sosialisasi” pelarangan barang-barang yang diidentikan dengan agama tertentu.
Peristiwa itu menambah panjang daftar kasus pelanggaran pada ekspresi yang berbeda. Pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” karya sutradara Rahung Nasution di berbagai tempat, menjadi simbol dari tidak adanya penghormatan pada kebebasan berekspresi. Film itu dianggap sebagai film yang bernapaskan ideologi Komunisme. Pemasungan kebebasan berekspresi juga terjadi dalam kasus pembacaan naskah lokakarya penulisan naskah teater Festival Teater Jakarta pada 2015, seminar empat pilar NKRI yang akan dilaksanakan komunitas Respect and Dialogue di Tasikmalaya pada 21 Februari, dan pelaksanaan Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki pada 27 Februari.
Sayangnya, berbagai peristiwa itu seolah diabaikan oleh aparat kepolisian. Acap kali, polisi menjadi pihak yang “mengamankan” pihak-pihak yang justru menjadi korban, ketimbang menangkap kelompok intoleran yang melakukan pemasungan ekspresi. Dengan dalih menjaga ketenangan, dalam banyak peristiwa, polisi menuruti membatalan bahkan pembubaran sebuah acara.
AJI menilai, represi atas kebebasan berekspresi warga adalah ancaman bagi kebebasan pers dan fungsi pers untuk mengembangkan pendapat umum. Kebebasan pers membutuhkan kebebasan warga untuk menyatakan pendapatnya kepada pers. Seperti diatur dalamUU Nomor 40 Tahun 1999, pers nasional dimandatkan untuk mengembangkan pendapat umum. Karena kondisi itu, AJI menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, dengan tetap menindak segala bentuk anjuran kekerasan maupun ujaran kebencian rasial ataupun sektarian.
Hal lain, menghangatnya situasi politik belakangan yang dipicu oleh pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, menciptakakan problematika tersendiri di dunia pers Indonesia. Secara terbuka, kelompok-kelompok yang memprotes kandidat Pilkada Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dinilai menistakan ayat Alquran, menjadikan media massa sebagai musuh.
AJI mencatat, ada berbagai peristiwa kekerasan verbal maupun nonverbal terjadi di berbagai daerah dalam rangkaian demo 4 November 2016, Jumat (4/11/2016). Di Jakarta, setidaknya ada tiga jurnalis televisi menjadi korban kekerasan. Rombongan kru dari sebuah stasiun televisi juga diusir dari masjid Istighlal, karena di anggap membela kelompok tertentu. Ketika terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa, lemparan baru juga mengarah pada kelompok jurnalis yang meliput peristiwa itu. Sementara di Medan, Sumatera Utara, rombongan jurnalis dari sebuah stasiun tv juga mengalami hal yang sama, diusir dari lokasi digelarnya unjuk rasa 4 November.
Ketika berlangsung pengerahan masa pada Jumat, (2/12/2016), hal serupa kembali terjadi. Kali ini, sasaran utamanya adalah dua media televisi, Kompas TV dan Metro TV. Terulang, massa yang sejak awal mengklaim diri akan melakukan aksi damai itu, justru mengganggu kerja jurnalistik kru televisi di lapangan.
Provokasi dengan menjadikan jurnalis sebagai sasaran kemarahan, mulai terjadi beberapa hari sebelum unjuk rasa 4 November dan 2 Desember itu digelar. Beredar “meme” yang menyebut media tertentu yang berseberangan dengan aspirasi pengunjuk rasa. Hal ini berarti, ada skenario membangun suasana kebencian kepada media-media tertentu. Ironis, polisi tidak berupaya untuk mengusut provokator yang membakar kemarahan warga melalui penyebaran “meme”, sekaligus mengabaikan pelaku menghalang-halangi kerja jurnalis. Sumber : Siaran pers Catatan Akhir Tahun AJI