
Direktur RS Andi Depu Polewali Mandar, dr. Anita Umar (berbaju merah), saat menemui massa aksi yang berdemonstrasi di depan RS.
Polewali Mandar, mandarnews.com – Pasca melakukan aksi unjuk rasa di depan Rumah Sakit (RS) Andi Depu Polewali Mandar pada Senin (28/4/2025) lalu, Jaringan Oposisi Loyal (JOL) kembali menggelar demonstrasi di lokasi yang sama, Jumat (2/5/2025).
Salah seorang orator, Lazuardi, menyampaikan jika aksi ini adalah sebuah ekspresi, titik kekecewaan terbesar dari aksi yang pertama.
“Konsistensi dari gerakan ini adalah bagaimana akan terus mengawal apa yang terjadi pada Bu Minah. Keterangan langsung dari pihak keluarga, Bu Minah tidak bisa bergerak, tidak bisa berjalan, dan masih memerlukan bantuan oksigen,” tukas Lazuardi.
Ia menegaskan bahwa ini bukanlah gerakan terakhir, JOL akan terus bergerak sampai rumah sakit membuka seterang-terangnya apa yang terjadi pada Bu Minah. Gerakan jilid III pun akan berlanjut, sampai Bu Minah dan keluarga mendapat keadilan.
Erwin, massa aksi yang lain, membeberkan kalau ada laporan dari masyarakat bahwa pelayanan di RS hanya diperuntukkan bagi orang-orang berada.
“Pasien yang berada di kelas menengah ke bawah tidak mendapatkan pelayanan yang baik,” ungkap Erwin.
Setelah beberapa lama menyampaikan orasinya, massa aksi ditemui langsung oleh Direktur RS Andi Depu, dr. Anita Umar, yang ditemani oleh staf dan dalam kawalan ketat.
Di hadapan massa, dr. Anita menekankan bahwa pihaknya sudah bertindak sesuai dengan prosedur medis.
“Kami ini berjalan sesuai dengan prosedur medis. Bu Minah sendiri adalah pasien asal Mamasa yang dirujuk dari Puskesmas pada tanggal 8 April 2025,” ujar dr. Anita.
Awalnya, pasien dirawat di IGD di bawah perawatan dr. Ratna dengan keluhan perut membesar, sesak, tidak bisa makan dan didiagnosa kerusakan hati permanen. Pasien dirawat selama 15 hari sampai tanggal 23 April oleh dr. Ratna, yang berkonsultasi dengan dr. Arif yang bertindak selaku dokter bedah.
“Jika dikatakan ada perbedaan pernyataan antara pihak RS dengan keluarga, kami punya pembuktian. Tadi ada dikatakan, pasien diharapkan sembuh total, itu tidak mungkin karena pasien menderita kerusakan hati permanen, yang bisa RS lakukan adalah memperbaiki keluhan, memperbaiki gejala,” imbuh dr. Anita.
Sehari sebelum pulang, kata dr. Anita, yaitu pada tanggal 22 April, sudah dua hari pasien tidak menggunakan oksigen. Pasien masih diinfus tapi sudah mengonsumsi obat yang diminum, bukan lagi suntikan. Pasien bisa diajak bicara oleh dokter dan bisa bergerak.
“Kemarin ada saya lihat dikatakan pasien kritis, kritis itu artinya pasien tidak sadar, tanda vitalnya tidak bagus, napasnya cepat,” sebut dr. Anita.
Ia menerangkan, dua hari sebelum tanggal 23 April sudah diizinkan pulang, diedukasi oleh dokternya, dokter sendiri yang menyampaikan ke keluarga pasien. Sehari sebelum pulang, masih dipantau langsung oleh dokter, keluarganya juga tahu. Di hari kepulangan, pasien sendiri yang berjalan dari brankar menuju kursi roda, dan dari kursi roda menuju bentor.
“Soal benda yang masih tertempel di tubuh pasien, itu bukan alat medis, tapi bahan medis yang sudah dinyatakan aman. Soal kenapa bukan pihak RS yang mencabut bahan medis tersebut, keluarga sendiri yang bilang untuk membatalkan, sehingga bukan pihak RS yang mencabut. Bahkan, setelah itu, ada permintaan untuk memformalin mayat. Sudah dicarikan formalin, tapi keluarga bilang batalkan,” ucap dr. Anita.
Didesak terkait adanya keluarga yang datang mempertanyakan kepulangan pasien oleh masaa aksi, dr. Anita menjelaskan jika di sini harus ditentukan siapa yang menemani pasien di rumah sakit dan siapa yang kemudian komplain.
“Kalau dikatakan komplain, setahu saya aduan secara komunikasi tidak pernah masuk ke kami dari keluarga pasien. Malamnya, tiba-tiba ada berita muncul di media yang menyebutkan satu nama yang sebelumnya tidak pernah muncul di rumah sakit,” tutur dr. Anita.
Menurut dr. Anita, semuanya harus dilihat secara fair, sebab yang diberikan informasi oleh dokter adalah keluarga yang selalu menemani pasien, bukan yang notabene tiba-tiba datang mempertanyakan ketika ada kejadian, yang tidak tahu bagaimana perjalanan si pasien. (ilm)